Ada beberapa kemungkinan mengapa Trump tampak melunak terhadap Iran pascaserangan itu. Pertama, itu adalah sikap realistis. Setelah ofensif berani itu, AS menyadari bahwa para pemimpin Iran benar-benar kredibel dengan omongannya. Ia mungkin juga menyadari, Iran memiliki kemampuan militer yang dapat membahayakan eksistensi AS di Timur Tengah baik untuk menyerang maupun bertahan. Tak sedikit memang pemimpin di Timur Tengah yang kuat sekali dalam berteriak, tapi kredibilitasnya diragukan. Meskipun ia mengancam akan melakukan pembalasan besar, di lapangan itu tak ada wujudnya. Ternyata pemimpin Iran tidak demikian, tidak omong doang dalam ancamannya.
Ancaman Trump untuk melakukan aksi balasan luas terhadap situs-situs kebudayaan penting Iran jika melakukan serangan balasan ternyata tidak didengar. Nyali pemimpin Iran terlihat sangat berani dalam hal ini. Padahal, dalam perkiraan para pengamat, jika Iran nekat melakukan aksi balasan atas kematian Jenderal Soleimani maka perang terbuka kemungkinan benar-benar pecah.
Bagaimanapun, konflik Iran dan Amerika Serikat itu sudah sangat lama, tak kurang dari empat dekade. Selama ini, konflik militer sesungguhnya sudah terjadi antara keduanya pada level proksi baik di Irak, Yaman, Suriah, dan lainnya. Kedua pihak sepertinya memang sudah mempersiapkan diri sejak lama untuk menghadapi kemungkinan perang besar yang diyakini akan terjadi antara kedua pihak entah kapan. Sejauh ini, kedua pihak selalu bisa menemukan jalan deeskalasi ketika ketegangan mulai memuncak sehingga perang langsung dan terbuka tidak terjadi. Keduanya sejauh ini cukup realistis. Mereka bermusuhan dan berhadapan di hampir semua front, tapi mereka berupaya sejauh mungkin menghindari pecahnya perang terbuka. Sebab, akibat-akibat perang dari kedua pihak diyakini akan sangat destruktif. Kepentingan keduanya kemungkinan juga tidak bisa dicapai melalui perang. Pengalaman Suriah dan Yaman di mana keduanya aktif mendukung pihak berbeda jadi pelajaran berharga.
Strategi
Di luar kemungkinan sikap realistis dan ‘’skenario konspiratif’’ di atas, ada kemungkinan lain. Sikap Trump yang terkesan melunak adalah strategi untuk menggebuk Iran di waktu yang tepat. Kematian Jenderal Soleimani secara keji faktanya telah menggelorakan heroisme rakyat Iran dan masyarakat Syiah di kawasan. Menghadapi Iran dalam suasana ini mungkin dipandang tidak tepat. Apalagi, suara publik AS juga cenderung menolak keras terhadap opsi perang dengan Iran. Prosedur pengambilan keputusan perang dalam politik domestik AS juga berpihak kepada sulitnya opsi perang diambil. Oleh karena itu, Trump mengambil sikap di luar dugaan: memilih untuk melunak untuk sementara waktu.