Ia bisa belajar bahasa Mandarin dari tiga orang. Ia juga cepat belajar bahasa Swedia. Kemampuan matematikanya sering menyelamatkan sang insinyur ketika harus menjelaskan secara teknis kepada Presiden Botha. Sesungguhnya sang insinyur tak paham apa-apa soal fisika nuklir. Jika sejarah sering dipercaya terjadi karena skenario yang terancang rapi, ternyata di tangan Jonas, sejarah terjadi karena kebetulan dan proses ketololan.
Karier Nombeko, misalnya. Ia akan tetap jadi pengangkut tinja jika tidak tertabrak mobil si perancang bom nuklir yang mabuk, Insinyur Westhuizen. Dalam persidangan justru Nombeko kalah dan dihukum jadi pembantu sang insinyur. Saat jadi pembantu itulah ia berkenalan dengan tiga perempuan China yang mengajari bahasa Mandarin dialek Wu, sama dengan bahasa yang digunakan Hu Jintao.
Dia pun akan tetap jadi pembantu sang insinyur bila penerjemah Hu Jintao tidak digigit kalajengking saat kencing sembarangan di semak-semak. Karena itulah, Nombeko harus menggantikan sang penerjemah. Peristiwa serbakebetulan membuat Nombeko mampu menyelamatkan dunia dari bom nuklir. Bukankah bom nuklir itu pun jadi karena proses tidak direncanakan?
Ah, seandainya Jonas membaca tentang Sukarno, akan ada candaan pula tentang Presiden Indonesia di novel ini. Bukankah Sukarno berperan besar dalam sejarah Afrika? Ah, ternyata sejarah besar manusia terjadi serbakebetulan belaka. (Handoko Widagdo, pegiat literasi, tinggal di Surakarta-28)