Proses belajar pun, saya kira, sangat radikal atau mengakar. Dimulai dari menulis yang bermula dari membaca dan menghitung serta menulis yang berhulu dari mengenal keadaan sekitar. Tidak perlu muluk-muluk, sebagaimana saya diajari menghitung kecepatan kucuran air dari sebuah drum minyak yang sampai sekarang tidak pernah saya alami penerapannya dalam kehidupan. Juga bagaimana struktur Planet Mars tersusun. Karena benar, apa gunanya dalam kehidupan masyarakat (sekarang)?
Jika ditinjau dari segi kebahasaan, membaca buku ini layaknya saya berdialog dengan lawan bicara. Tidak ada sekat antara penulis dan pembaca. Gaya yang bisa dibilang dua arah dan penggunaan bahasa yang tidak terlalu tinggi bagi orang seperti saya, yakni awam, membuat siapa pun yang membaca nyaman dan tidak merasa digurui. Selalu saya diajak penulis untuk berdialektika tentang masalah konkret pendidikan yang sejak dulu hingga sekarang hanya mencetak buruh yang akan iya-iya saja kepada petinggi atau pemodal. Toto secara perlahan membuat saya bisa membuka mata berkait dengan permasalahan yang selama 14 tahun dan empat semester baru bisa saya lihat. Tentu apa yang bisa saya peroleh selama taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas berkait dengan kritik. Tentu kita bisa merasakan bagaimana benarbenar dicetak menjadi apa yang pemodal mau lewat penyelenggara pendidikan. Seperti jika lulus jadilah pengusaha, doktor, bupati. Lalu, siapa yang kemudian menjadi petani? Siapa yang akan menanam padi, sagu, dan bahan makanan kita?
Robotkah?
Secara keseluruhan, ini merupakan buku kritik dan solusi mengenai pendidikan yang wajib dibaca. Sejalan dengan hal itu, film Captain Fantastic 2016 yang dibintangi Viggo Mortensen juga menyuguhkan solusi atas neoliberalisme pendidikan. Bagaimana peran orang tua dalam mendidik serta membangun mental anak yang seperti saya sebutkan itu, yang tidak iya-iya saja. (Dheani Fauziah, martir pada #RabuBacaBuku-28)