Tanpa diminta, ia pun kemudian mengenalkan istri.
''Den Ayu, ini istri saya. Namanya Djam, Djamilah.''
Terbata-bata Mitro berusaha menutup rasa herannya, kalah cepat dari reaksi perempuan yang berdiri di hadapannya.
''Wak Mitro, mohon maaf kalau tadi saya tidak permisi terlebih dulu. Saya langsung ke sungai, karena sudah menahan untuk buang air kecil sejak sejam yang lalu. Kalau ditahan-tahan lagi terlalu lama, bisa menyebabkan penyakit yang fatal.''
Mitro mengerem mulutnya untuk tersenyum. Sementara entah mengapa rona Djamilah istrinya, mendadak pucat pasi. Bibirnya terkatup makin rapat. Mitro bisa menangkap bahasa tubuh Djamilah.
Sebagai suami yang terkenal mampu menjaga keharmonisan keluarga di kampungnya, Mitro tidak mengalami kesulitan untuk menerjemahkan sinyal hati istri. Apalagi yang disimbolkan lewat gerak-gerik. Sudah 30 tahun Djamilah menjadi pendamping hidupnya.
Djamilah memang mendongkol atas sikap suaminya pada sosok perempuan asing itu. Selain karena Mitro mencuri pandang pada kehadiran perempuan muda tersebut, sejak turun dari gerobak hingga kembali dari sungai, Djamilah juga memerhatikan ekspresi suaminya. Mata Mitro nyaris tak berkedip saat melihat perempuan asing itu.
Dia mengakui, suaminya adalah pasangan setia. Tetapi, sebagai perempuan lumrah, Djamilah tak berdaya untuk menghapus sama sekali atas rasa cemburu terhadap wanita lain yang tengah berdiri di hadapannya.
Perempuan yang belum ia ketahui siapa namanya itu memang bagai bumi dan langit darinya. Tinggi perempuan itu kira-kira satu kali lebih tiga per empat landeyan tlempak tombak, ada pun Djamilah hanya sekitar satu kali lebih setengah landeyan tlempak tombak.
Djamilah hanya perempuan desa. Tidak pernah sekolah, hanya mengaji di langgar. Tidak pernah ke mana-mana. Paling banter hanya ke pasar di Prawoto, itu pun pada hari tertentu seperti menjelang puasa Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri.
Tiap hari menemani suami menggarap sawah serta rutin mengurus dapur, mengakibatkan kulit Djamilah lebih cepat mengerut. Bahkan bertambah parah lantaran gosong terpanggang matahari. Meski guratan di wajahnya, masih menyisakan, sesungguhnya dia dulu cantik.
Khawatir atas sikap istri memancing ketersinggungan, berhati-hati Mitro menunjukkan sikap bersahabat.
''Beginilah orang desa. Tahunya hanya menggarap sawah.''
Mulut perempuan muda itu merekah mawar. Sementara, delapan lelaki yang mengiringi dan sejak tadi berdiri di belakangnya, takdim mendengarkan. Mereka tak berucap sedikit pun, hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
''Siapa nama Den Ayu? Dari mana dan hendak ke mana? Kalau masih meneruskan perjalanan jauh, kami hanya bisa ambilkan kelapa muda, sekadar untuk menyingkirkan haus.''
Dipetiknya sembilan butir kelapa muda hijau, sehingga masing-masing orang mendapat bagian satu butir.