SEMARANG, suaramerdeka.comm - Anggota Tim Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang Prof Dr Ir Sutrisno Anggoro melihat dinding yang menjadi perisai industri di Tanjung Emas tersebut bukan tanggul, tapi lebih mirip dinding atau pagar.
Dari sudut tata ruang, kata Prof Sutrisno mestinya tidak boleh, karena tidak memenuhi syarat keamanan.
Selain itu, keadaan diperparah dengan hantaman arus bawah laut yang terus menggerus pondasi bangunan, sehingga menyebabkan landasan terus menurun.
"Harusnya dalam penataan ruang yang berdekatan dengan pantai harus diberi ruang jarak 100 meter," katanya.
Baca Juga: Sosok Siluman Cantik Penggoda Pria, Ini Asal Usul Badarawuhi di Kisah Nyata
Selanjutnya, ruang jarak 100 meter antara garis pantai dengan bangunan harus dijadikan kawasan lindung.
Barulah kemudian ada industri atau bangunan lainnya.
Prof Sutrisno pun mendorong untuk dilakukannya peninjauan lagi terkait dengan tata ruang, mumpung saat ini ada revisi terkat tata ruang yang mengintegrasikan tata ruang matra laut dan matra darat.
"Gerusan tidak dari arus atas, tapi justru dari bawah. Kalau turun berarti bangunan goyah. Kami mencoba mengecek tempat yang ambrol ketebalan dindingnya hanya 14,7 sentimeter dan 15 sentimeter. Kemudian pondasinya 30 sentimeter di bawah. Itupun tidak memadai," katanya.
Baca Juga: Update Pencarian Eril: Otoritas Gunakan Metode Pencarian Jenazah, Keluarga Mengikhlaskan Almarhum
Artikel Terkait
Tanggul Laut Segera Dibangun, Wali Kota: Kuncinya di Pelindo dan Lamicitra
Atasi Rob Pantura Jateng, Tanggul Boleh Tapi Pemetaan Berkelanjutan Penting
Tanggul Sementara Penahan Rob di Tanjung Emas Jebol? Cek Faktanya di Sini
Ketinggian Air Meningkat, Temuan DP2K: Tembok Biasa Jadi Penahan Gelombang
Tinjau Pelabuhan Tanjung Emas, DP2K Semarang: Dinding Penahan Gelombang Laut Tidak Memadai