Tidak hanya itu, kemungkinan lainnya terjadi karena satu kontraktor ternyata mengerjakan proyek di beberapa titik dalam waktu bersamaan, sementara permodalannya ternyata kurang kuat.
''Ini tidak terkait dengan adanya refokusing anggaran karena secara anggaran kontraktor tetap memiliki budget permodalan. Kecuali kalau awalnya ada pengerjaan tetapi menjadi tidak ada pengerjaan, maka kemungkinan bisa terkena refokusing.
Soalnya, rekanan proyek kalau hendak mengerjakan pembangunan pasti harus memiliki modal awal terlebih dulu, kemudian setelah sampai di termin baru bisa pencairan,'' ungkap dia.
Swasti berharap agar Pemkot Semarang ada evaluasi, dalam hal ini Unit Pelayanan Pengadaan (ULP), agar jeli dalam menerima penawaran harga saat pelelangan proyek.
Karena saat kontraktor menawar 80 persen atau kurang dari harga yang ditetapkan, mestinya harus ada klarifikasi kajian untuk mengetahui apakah kontraktor tersebut mampu menyelesaikan dengan anggaran penawarannya tersebut.
''Selama ini, kegagalan proyek pembangunan terjadi karena pemenang lelang merupakan kontraktor yang menawar harga kurang 20 persen dari ketetapan harga.
Adanya evaluasi, diharapkan untuk mengantisipasi agar hal-hal seperti ini tidak terjadi kembali. Soalnya, kalau proyek pembangunan tidak selesai nanti yang akan dirugikan yakni masyarakat,'' terang dia.
Baca Juga: Bertambah 21 Kasus, Jumlah Kasus Omicron di Indonesia Jadi 68 Kasus
Sementara itu, Pelaksana Pengerjaan Puskesmas Bulusan, Sigit Prasetiyo, mengatakan, kegagalan penyelesaian pengerjaan pembangunan Puskesmas tersebut karena adanya permasalahan (cashflow).
Artikel Terkait
Sengkarut Proyek Mandala Krida Pengaruhi Persepsi Persaingan Usaha di DIY
Sepanjang 2021, Polrestabes Semarang Ungkap Gangguan Kamtibmas 1.206 Kasus
Refleksi Akhir 2021 DP2K Bersama Pemkot, Sejumlah Proyek Gagal Terealisasi di 2021