SEMARANG, suaramerdeka.com - Ajaran Islam di Indonesia dipandang unik oleh cendikiawan muslim negara lain. Di samping itu, praktik keberagamaan di Indonesia dinilai mampu memadukan agama dengan kultur dan budaya.
Peneliti di tempat Keagamaan Indonesia, Universitas Humbolt Berlin dan Ulu-Ilir-Institute, Dr. Phil Claudia Seise, berniat belajar tentang konsep Islam Indonesia. Menurut Claudia, Islam di Indonesia sudah memiliki konsep dasar yang jelas seperti silaturahmi, mencari berkah, keinginan akan harmoni dan kekuatan rasa.
Empat hal itu, kata dia, merupakan ajaran pokok yang sangat mendasar di Indonesia. Claudia berharap pemerintah maupun muslim di Jerman nantinya bisa belajar tentang Islam di Indonesia. Harapannya, kelak mereka bisa membuat bingkai teori Islam sendiri yang sesuai dengan kultur di Jerman.
"Saya ingin belajar bagaimana menetapkan dan membuat konsep dasar Islam yang sesuai dengan budaya Jerman. Bagaimana metodologi itu (Islam Indonesia) bisa diterapkan di Jerman," tutur Claudia saat menjadi pembicara dalam International Conference On Ushuluddin And Humanities Studies (Iconhumans) bertajuk "Agama, Kemanusiaan, dan Peradaban di Era Disrupsi: Teks dan Praktik" di Hotel Wujil, Kamis (7/11).
Profesor Studi Agama dan Perbandingan Agama, Universitas Mennonite, AS dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Magdy Bahig Behman, menilai Islam yang diajarkan di Indonesia tidak tekstualis. Indonesia bisa memadukan antara teks dan kemanusiaan. Namun, dalam praktiknya berislam di Indonesia lebih fokus pada kemanusiaan ketimbang teks.
Islam Indonesia, kata dia, juga memadukan antara teks-teks Islam dengan budaya. Orang-orang yang terlalu tekstualis, kata dia, seringkali mengalami kegagalan. Kegagalan itu yang memicu terciptanya terorisme karena terlalu memaksakan ajaran sesuai teks. "Fokus kepada teks tidak akan bisa menciptakan muslim yang sempurna," ujar Magdy Behman.
Adapun, Kepala Departemen Studi Teologi dan Agama, USIM, Malaysia, Dr. Mohd Rormizi Abd Rahman, mengemukakan Islam yang diajarkan di Indonesia merupakan kombinasi antara Islam tradisional dan Islam modern. Mereka juga mengombinasikan antara teks dan praktik. "Apa yang mereka pelajari selalu coba dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari," sambungnya.
Era Disrupsi
Terpisah, Dekan Fakultas Ushuludin dan Humaniora, Hasyim Muhammad mengungkapkan, revolusi Industri 4.0 telah memengaruhi fase perkembangan dalam sejarah manusia yang berdampak pada peran agama dalam masyarakat. Oleh karena itu, konferensi ini diharapkan menghasilkan teori studi Islam dan humaniora berdasar perspektif Islam di era disrupsi.
"Agama tidak lagi terbatas pada domain madrasah, masjid, atau lingkaran agama. Kegiatan diskusi dan pengajaran sekarang hidup di platform virtual. Narasi keagamaan dan aspirasi politik diekspresikan di dunia maya seperti facebook dan twitter," ungkapnya.
Dalam konferensi internasional itu juga membahas, hubungan antaragama, sufisme urban dan mobilitas spiritual, pemikiran Islam dan wacana kontemporer. Kemudian, ajaran dan praktik moderat di dunia Islam, media digital dan ekstremisme agama, seni dan arsitektur Islam di Indonesia.
Hadir dalam acara tersebut, Direktur Negara untuk Indonesia, Asosiasi Internasional untuk Penanggulangan Terorisme dan Pusat Profesional Keamanan untuk Studi Keamanan, R Rakyan Adi Brata, Guru Besar Bidang Tasawuf, UIN Walisongo, Suparman.