suaramerdeka.com - Mprof bahwa ada orang-orang yang bersuku lain, dan pemeluk agama, tetapi dipersatukan oleh namanya: warga bangsa Indonesia”.
Pesan tersirat di balik pernyataan itu adalah ada keragaman (kemajemukan) dalam banyak hal, termasuk di dalam budaya dan tradisi yang dijalankan.
Keragaman dalam hal agama yang mereka peluk misalnya, bukan hanya sah, tetapi juga dalam kesejarahan lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia ini, adalah hasil perjuangan mereka juga.
Pertanyaannya lalu, apakah agama yang berbeda-beda itu oleh pemeluknya masing-masing digunakan sebagai piranti untuk memenangkan sebuah perlawanan atau sebaliknya, yaitu untuk menyatukan.
Baca Juga: link live streaming Liverpool vs Arsenal, Pertandingan Giganpressing Vs Tiki Taka
Jika untuk piranti memenangkan, maka siapakah sebenarnya lawan di sini? Bukankah setiap pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya? Bukankah keyakinan keagamaan itu ideologis, sehingga tidak membutuhkan verifikasi empiris sebagaimana sain dan teknologis?
Dari sudut ini, pertanyaan yang krusial dan relevan justru bagaimana masing-masing pemeluk agama oleh warga bangsa Indonesia itu berfokus kepada ”bagaimana berakhlak sebagai pemeluk agama dalam konteks negara?
Dari sinilah wacana ”hubbul wathon minal iman” [cinta tanah air bagian dari iman) menemukan relevansinya.
Kenapa? Karena, jika kita masih mau jujur, sesungguhnya antara agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat mutual simbiotik, yakni suatu hubungan timbal balik yang saling memerlukan.
Artikel Terkait
Hukum Mengucapkan Selamat Natal bagi Muslim menurut KH Cholil Nafis MUI
Dirawat Layaknya Anak, Ini Penjelasan MUI tentang Boneka Arwah atau Spirit Doll yang Viral
KH Imam Ghozali, Perintis Perguruan Al-Islam