suaramerdeka.com - Menteri Agama telah memutuskan bahwa pemberangkatan jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji Tahun 1442 H/ 2021 M dibatalkan. Keputusan Menag itu tertuang dalam KMA Nomor 660 Tahun 2021.
Bagi umat Islam, lebih khusus calon jemaah haji yang sedianya berangkat tahun ini dan juga tahun kemarin, keputusan ini sungguh pahit. Ibadah haji yang didambakan dan sudah dipersiapkan selama bertahun-tahun itu harus ditunda kembali karena situasi pandemi Covid-19, baik global maupun nasional, yang belum kondusif.
Dalam konsiderannya (point a, b, c) dinyatakan, menunaikan ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu secara ekonomi dan fisik serta terjaminnya kesehatan, keselamatan dan keamanan selama berada di embarkasi atau debarkasi, di perjalanan dan di Arab Saudi. Namun dalam aspek kesehatan, keselamatan dan keamanan jemaah sedang terancam oleh pandemi Covid-19 dan varian barunya. Sedangkan pemerintah bertanggung jawab menjaga dan melindungi warga melalui upaya penanggulangan pandemi Covid-19.
Mampu (istitha'ah) merupakan salah satu syarat haji. Bagi yang tidak berkemampuan (ghair al-mustathi'), tidak wajib haji. Istitha'ah (binafsihi) ini, dalam literatur fiqh (al-muhadzdzab: 196-7), dapat diringkas menjadi tiga kategori: mampu dari segi bekal (al-zad: ONH, harta untuk keluarga, transportasi, biaya selama berada di tanah suci dan lainnya), keamanan di jalan (tidak ada peperangan dan gangguan/ hambatan dalam perjalanan dan tidak sakit atau dalam kondisi sehat. Jika pada diri seseorang terkumpul tiga kemampuan itu, ia wajib haji, sesegera mungkin.
Saat ini, mungkin seseorang telah memiliki tiga kemampuan di atas, tetapi ada situasi pandemi global Covid-19. Covid-19 mengancam kesehatan dan keselamatan jemaah. Jika terpapar, ia (mungkin) akan sakit bahkan bisa menyebabkan kematian. Lebih-lebih Covid-19 berupa virus yang tidak tampak dan sangat menular. Hingga saat ini, dunia belum memiliki cara efektif untuk mencegah dan mengobati Covid-19.
Sepintas, situasi wabah Covid-19 seperti tidak ada hubungannya dengan istitha'ah haji. Artinya, haji tetap wajib terselenggara meski ada pandemi covid-19. Salah satu alasannya, wabah tidak disebut dalam literatur fiqh. Alasan lain, dengan protokol kesehatan ketat, resiko tertular bisa diminimalisir. Lagi pula, tidak semua orang terpapar. Dan kalau terpapar, belum tentu sakit (OTG). Dan kalau sakit, masih bisa diusahakan untuk safari wukuf. Malah, ada yang menambahkan dengan alasan politis: pemerintah seolah menghambat umat Islam mau beribadah haji.
Argumentasi di atas sangat lemah dan menjerumuskan umat. Bahaya pandemi Covid-19 melebihi dari istitha'ah dari segi ketidakamanan di jalan dan istitha'ah dari segi kesehatan dan keselamatan. Terutama karena virusnya tidak tampak dan sangat menular. Pengobatannya juga sangat mahal. Jika menyangkut keselamatan atau ibadah-apalagi ibadah jika mampu-sudah pasti ulama akan memilih keselamatan jiwa dan kesehatan jemaah.
Soal istitha'ah ini, ulama cukup luwes. Jangankan pertimbangan keselamatan dan kesehatan, soal membayar hutang saja itu bisa membuat seseorang tidak wajib berhaji. Seseorang yang memiliki hutang dan sudah jatuh tempo wajib segera membayar hutangnya, sedangkan haji bisa dilaksanakan kapan-kapan (li anna al-dain al-hal 'ala al-faur wa al-hajj 'ala al-tarakhi, fa qudima 'alaih). Bayar hutang dulu, ibadah haji kemudian. Artinya, orang yang punya hutang ia tidak wajib haji.
Untuk memperkuat kebijakan pembatalan haji, pemerintah mengutip argumen maqashid syariah (point d)-bukan keadaan darurat-bahwa menjaga jiwa (hifdz al-nafs) merupakan salah satu dari lima (dharuriyyat al-khamsah) tujuan ditetapkannya hukum Islam.

Maksud dan Tujuan