Kilau Kalam: Mendulang Keberkahan Rizki

- Jumat, 31 Maret 2023 | 05:25 WIB
Mohammad Farid Fad, pengasuh Ponpes Raudlatul Muta’allimin Kendal (Instagram @faridfad)
Mohammad Farid Fad, pengasuh Ponpes Raudlatul Muta’allimin Kendal (Instagram @faridfad)

Oleh Mohammad Farid Fad, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muta'allimin Kendal, Dosen FITK UIN Walisongo Semarang.

Imam Nawawi Ad-Dimasyqi dalam Syarah Shahih Muslim menuturkan bahwa asal makna berkah atau barokah ialah kebaikan yang banyak dan abadi.

Para ulama pun menjelaskan bahwa makna berkah mencakup segala sesuatu yang banyak dan berlimpah kebaikan (ziyadatul khair). 

Baik terkait material maupun non-material seperti ketenangan batin, terjaganya kesehatan dan sebagainya.

Saat rizki berkah, banyak atau sedikitnya tak menjadi soal.

Tetapi, ketika nilai keberkahan hilang, banyaknya hanya akan berujung pada kesempitan hidup. 

Bisa jadi ia akan mengalami deraan cobaan non-materi, semisal menurunnya kesehatan, tingginya kecemasan, kehampaan hidup hingga kenakalan anak.

Bila demikian, seseorang dalam ikhtiar mencari rizki harus dilandasi dengan keyakinan bahwa pemilik rizki itu hanyalah Allah SWT, hingga menalar rizki hanyalah amanah yang ujungnya akan dimintai pertanggungjawaban di persidangan akhirat (Q.S. 102: 8). 

Mencari dan meraih rizki itu bukan tujuan, melainkan sebagai piranti beribadah kepada Allah SWT.

Artinya, takaran berapapun rizki yang diperoleh bukanlah ditujukan untuk berfoya-foya, pamer, apalagi sampai simbol kesombongan diri. 

Sebaliknya harus dijadikan media untuk optimalisasi pemenuhan kewajiban ibadah.

Menjadi percuma bila meraih gelimang pundi-pundi materi tapi dengan menghalalkan segala cara, menilai jabatan hanya melalui mindset aji mumpung, korupsi, suap, pencucian uang atau laku lainnya yang berorientasi pada ketamakan duniawi.

Hingga logikanya, yang dicari bukan banyaknya takaran kuantitas rizki, tetapi kualitas keberkahannya, yaitu nilai guna dan kemaslahatan baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.

Pun tak merasa keberatan dalam mentasharrufkan zakat, sedekah, infak ataupun wakaf.

Bila nalarnya hanya untuk memenuhi kata “cukup” maka manusia tidak akan pernah merasa cukup.

Halaman:

Editor: Andika Primasiwi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Istitha'ah dalam Berhaji

Kamis, 1 Juni 2023 | 21:59 WIB

Pancasila dan Dukungan Kultural

Kamis, 1 Juni 2023 | 21:11 WIB

Kemandirian dalam Pernikahan Usia Dini

Kamis, 18 Mei 2023 | 19:30 WIB

KH Abul Fadhol, Ulama Zuhud Kelahiran Sedan

Kamis, 18 Mei 2023 | 19:23 WIB

Penamaan Tipologi Masjid di Indonesia

Kamis, 18 Mei 2023 | 18:51 WIB
X