Oleh Mohammad Farid Fad, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Kendal, Dosen FITK UIN Walisongo Semarang.
Belakangan, kita sering mendengar istilah flexing.
Ini adalah istilah yang dipergunakan untuk memamerkan sesuatu, utamanya raihan harta kekayaan.
Secara sederhana, perilaku flexing dapat dimafhumi sebagai sikap konsumtif yang mencolok, menghabiskan uang demi membeli barang-barang berkelas premium.
Kehadiran media sosial turut andil memberikan justifikasi “pemakluman”.
Baca Juga: Mudik ke Kampung Halaman Tanpa Khawatir Biaya, Hyundai Ajak Masyarakat Mudik Gratis Berhadiah
Apabila sebelumnya riya dilarang, dianggap tabu ataupun melabrak etika kepatutan, tapi kini jadi hal yang kaprah.
Beberapa hal yang sering dijadikan ajang pamer antara lain aksesori perhiasan, jam bermerk, liburan ke luar negeri, tas mewah, mobil lux, pakaian mahal, jet pribadi, hingga isi saldo ATM.
Maka dampak ikutannya adalah kemunculan istilah; crazy rich atau predikat “sultan”.
Bahkan dalam membentuk citra diri (personal branding), ada yang sampai merelakan diri merogoh koceknya demi mendapatkan pengakuan, pengikut palsu.
Baca Juga: Prof Noor Achmad akan Buka Gerakan Santri Menulis 2023, Ini Jadwal GSM Tahun Ini
Dengan jumlah follower yang terkesan wow dan bersedia mengamplifikasi, maka postingan yang bercorak flexing dibuat sedemikian rupa hingga terlihat mencolok, viral dan menjadi trending topik di berbagai kanal medsos.
Fenomena ini dilakukan bisa jadi untuk menunjukan status atau strata sosial, membentuk citra diri.
Hingga menunjukan kemapanan, mencari perhatian, menutupi faktor insecurity, hingga yang terbaru adalah menjadi bagian dari sinyal memasarkan suatu produk (market signaling).
Selain itu, tindakan flexing dapat terjadi karena minimnya rasa empati pada orang lain.
Artikel Terkait
Ngaji Milenial: Etika Bersilaturahmi Virtual
Ngaji Milenial: Membentuk Etika Islami
Ngaji Milenial: Memotret Hobi Gen Y
Ngaji Milenial: Eksplorasi Diri Remaja
Ngaji Milenial: Spirit Berbagi ala Generasi Milenial