suaramerdeka.com - Sejak awal digulirkan, Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menuai pro dan kontra. Sebagian menolak dan sebagian mendukung.
Wajar saja karena kebijakan ini mengarahkan kepada program yang dinilai membawa potensi industrialisasi kampus hingga bias program.
Merdeka Belajar dan MBKM sebenarnya bermuara pada "liberty" yang diagung-agungkan negara barat.
Kini, hal itu diadopsi di Nusantara dan menjadi program pendidikan baik dari SD sampai perguruan tinggi.
Secara konseptual, Kampus Merdeka menjadi salah satu dari kebijakan Merdeka Belajar oleh Kemdikbudristek yang digagas Mas Menteri Nadiem Makarim.
Kampus Merdeka memberikan kesempaatan mahasiswa mengembanhkan skills berdasarkan bakat dan minat melalui kegiatan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier mahasiswa.
Pertanyaannya, apakah kampus selama ini tidak melakukan hal itu?
Dekonstruksi MBKM
Kritik deras mengalir karena kebijakan ini dinilai sebagai "pemaksaan" atas kompetensi atau skills mahasiswa yang harus memiliki link and math dengan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI).
Kemdikbudristek (2021) merinci ada empat poin kebijakan Kampus Merdeka. Pertama, kewenangan penuh kampus mendirikan Program Studi baru. Kedua, reakreditasi secara otomatis. Ketiga, kemudahan proses peralihan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTNBLU) menjadi PTN Badan Hukum (PTNBH). Keempat, kemerdekaan mahasiswa belajar di luar prodinya dan di luar perguruan tingginya.
Beberapa akademisi khususnya pengelola Program Studi gelisah atas kebijakan ini. Meski kebijakan dinilai membawa angin segera namun juga membawa angin panas.
Coba kita analisis. Kebijakan mendirikan Program Studi baru secara futuristik bagus. Namun dengan banyaknya Program Studi tanpa kesiapan lapangan kerja, sama saja menyiapkan calon pengangguran terdidik.
Harusnya, konstruksi ini mengarah kepada strategi memaksimalkan Program Studi yang sudah ada dan mencari metode agar lulusan tidak menjadi pengangguran.
Kemdikbudristek juga bisa bekerjasama dengan Kemnaker atau perusahaan agar bisa menampung sarjana kita. Sebab, masalah banyaknya pengangguran dan suksesnya pendidikan harus dilihat dari alur input, proses, output dan outcome.
Kita sudah memiliki jutaan sarjana namun mereka menjadi pengangguran. Kebijakan Kemdikbudristek harusnya menyiapkan keterserapan mereka bukan justru membuka peluang pendirian Program Studi baru.
Artikel Terkait
Merdeka Belajar, Langkah Menjawab Kekhawatiran Mencetak SDM Unggul
Mari Serentak Bergerak Wujudkan Merdeka Belajar Gernas BBI Aroma Maluku
Mahasiswa Baru Dikenalkan Model Kampus Merdeka, Merdeka Belajar
Kebijakan Pendidikan Minim Kajian Akademis, Sosialisasi Merdeka Belajar Dibutuhkan
Akademisi: Nilai Kebangsaan dengan Merdeka Belajar Memiliki Hubungan yang Mendatangkan Manfaat