SETIAP masyarakat memiliki tradisi yang dipraktekkan secara turun-temurun atau dari generasi ke generasi.
Salah satu tradisi yang ada pada masyarakat Jawa misalnya adalah dibuatnya gapura pada jalan masuk ke kampung atau desa/kelurahan.
Tradisi membuat gapura ini hampir selalu dibawa oleh komunitas masyarakat Jawa yang mendiami wilayah luar Jawa, seperti Lampung, Palembang, dan sebagainya.
Gapura adalah penanda bagi desa atau kampung tersebut yang memiliki makna, antara lain sebagai batas kawasan, sehingga siapa pun yang masuk pada kawasan tersebut harus memperhatikan etika yang berlaku di masyarakat kawasan tersebut.
Dalam perkembangannya, di gapura tersebut ditulis antara lain angka tahun dan bulan serta tanggal kemerdekaan RI. Karena itu, gapura juga sebagai penanda komitmen kebangsaan warga yang tinggal di Kawasan tersebut.
Gapura merupakan ejaan masyarakat Jawa dari Bahasa Arab ghafuro, yang berarti Maha Pengampun.
Ia merupakan salah satu dari Asma’ul Husna yang disematkan kepada Allah dan kita sebagai Muslim dianjurkan untuk meneladani atau meniru sifat Allah tersebut (takhallaqu bi akhlaqillah).
Ini artinya, pola relasi warga yang dibangun adalah adanya kesadaran untuk saling mengingatkan agar tidak terus-menerus dalam kesalahan dan sekaligus saling membuka pintu maaf bila terlanjur berbuat salah.
Kesadaran inilah yang membuat hubungan antar warga berjalan cair dan relative tanpa sekat dan jarak. Sesama warga sangat saling mengenal.
Ketika ada masalah diantara mereka, musyawarah warga digunakan sebagai mekanisme penyelesaianya. Karena itu, konflik antara warga relative tidak ada atau cepat diselesaikan.
Artikel Terkait
Minyak Goreng, Sembako dan Politik Pangan
Ber-NU dan Ber-PKB: Mencontoh Gus Yusuf Chudlori
Demokrasi Pengelolaan Laut
Kegundahan Pengusaha Angkutan Barang di Tengah Penerapan ETLE
Persiapan Jelang Mudik Covid-19
Emansipasi Wanita: dari Wanita untuk Wanita