Menyikapi Film Pengkhianatan G30S PKI

Red
- Selasa, 29 September 2020 | 00:02 WIB
Ratusan orang menyaksikan nonbar film Pengkhiatan PKI lewat layar bareng, yang digelar di Makodim 0725/Sragen, Rabu (20/9) malam. (Foto: suaramerdeka.com/Basuni H)
Ratusan orang menyaksikan nonbar film Pengkhiatan PKI lewat layar bareng, yang digelar di Makodim 0725/Sragen, Rabu (20/9) malam. (Foto: suaramerdeka.com/Basuni H)

"Dari kacamata seni dan sastra, tidak ada kewajiban bahwa siapa pun harus menonton film tertentu, atau harus membaca karya sastra tertentu."

PADA masa Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan hantu paling menyiksa bagi rakyat Indonesia. Siapa pun yang tidak akur dengan pemerintah, bisa terkena stigma ini dan hidupnya bisa sengsara, termasuk keluarga dan keturunannya. Lalu Orde Baru pun tumbang dengan turunnya Soeharto akibat demonstrasi mahasiswa.

Isu PKI tetap tidak hilang dari bumi Indonesia, sekalipun di berbagai belahan dunia, komunisme sudah bangkrut dan tidak laku lagi. Saat ini negara komunis bisa dihitung dengan jari. Sepeninggal Soeharto, masih saja ada berbagai pihak yang mengusung isu PKI untuk agendaagenda politik.

Salah satu ‘’warisan’’Orde Baru yang masih saja menjadi isu hangat setiap tahun pada bulan September, adalah film layar lebar berjudul Pengkhianatan G30S/PKI karya sutradara Arifin C Noor (1984). Ada saja pihak-pihak yang ingin memutar film ini dengan tujuan untuk mengingatkan rakyat Indonesia akan bahaya laten PKI. Tetapi benarkah demikian? Apakah pemutaran film ini pada setiap bulan September bukan merupakan agenda politik terselubung?

Apakah justru bukan film itu sendiri yang merupakan bahaya laten? Dalam sejarah Indonesia, seni memang hampir selalu ‘’diperkosa’’ untuk tujuan-tujuan politik praktis, sebagai alat propaganda. Pada zaman jayanya, Lekra (sebagai underbow PKI) menggunakan kesusastraan sebagai alat propaganda. Pramoedya Ananta Toer, salah seorang petinggi Lekra waktu itu, menggunakan sastra sebagai alat perjuangan untuk mencapai tujuan politik (Sumardjo, 2016).

Ketika PKI berhasil ditumpas oleh Soeharto, sangat wajar apabila semua yang terlibat di dalam Lekra mendapatkan hukuman dan PKI diberantas dan diberangus. Dalam perjalanan waktu, para sastrawan Indonesia yang semula mendukung Soeharto kemudian menjadi kecewa karena Soeharto pun ternyata tidak berbeda dari PKI dalam hal menggunakan kesenian. Dia juga mengontrol dengan sangat ketat siapa seniman yang boleh berkarya dan tampil serta siapa yang tidak.

Bahkan dalang wayang kulit pun harus mematuhi segala aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Mereka yang tidak patuh akan dicap sebagai pemberontak dan dikategorikan sebagai PKI. Jadi selama lebih dari setengah abad, sastra dan seni secara umum ‘’diperkosa’’ untuk tujuan-tujuan politik praktis demi kekuasaan.

Tidak Pernah Obyektif

Sejarah memang tidak pernah obyektif, tergantung pada siapa yang berkuasa. Begitu Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, maka sejarah Indonesia adalah sejarah Soeharto. Tahun 1984, ketika Orde Baru masih dalam puncak kejayaannya, dibuatlah film Pengkhianatan G30S/PKI dan sejak saat itu menjadi kewajiban setiap rakyat Indonesia untuk menontonnya.

Dari pihak penguasa, pesan film itu jelas bahwa PKI itu pengkhianat dan penjahat bangsa yang harus dilenyapkan dan semua rakyat perlu diberi peringatan setiap saat agar tidak menentang penguasa. Soeharto berhasil mengukuhkan kekuasannya. Dengan terus-menerus dicekoki bahwa PKI itu pengkhianat dan penjahat, rakyat menjadi semakin takut. Film itu menjadi film wajib putar setiap tahun. Di setiap negara komunis, propaganda semacam ini menjadi lumrah.

Pemimpin yang antikomunis justru menggunakan cara yang lazim dipakai oleh komunisme. Orde Baru sudah tidak ada lagi, demikian pula Soeharto. Masih perlukah kita menonton film ini setiap tahun? Jawaban pertanyaan ini sederhana dan mudah: tidak. Dari kacamata seni dan sastra, tidak ada kewajiban bahwa siapa pun harus menonton film tertentu, atau harus membaca karya sastra tertentu.

Kita saat ini berada pada zaman postmodern (sering disingkat postmo). Dimulai dari era modernisme di mana individualisme dan kebebasan menjadi mantra, pada zaman sekarang ini setiap individu memiliki hak untuk memahami seni dan sastra sesuai dengan kebutuhannya masingmasing. Louise Rosenblatt (1938) menyatakan setiap pembaca sastra memiliki tafsir sendiri tentang apa yang dibacanya sesuai dengan latar belakang kehidupannya.

Pemaksaan makna oleh penguasa atau oleh siapa pun jelas sudah bukan zamannya lagi. Kita mundur ke belakang, ke zaman otoritarianisme, kalau masih ada pihak, apakah itu pemerintah atau pihak lain, yang ‘’memaksakan’’ makna seni dan sastra pada masyarakat. Dengan demikian, kegiatan nonton (nobar) bareng film Pengkhianatan G30S/PKI tidak perlu ada. Dalam konsep Roland Barthes, pengarang sudah mati.

Artinya, setiap seni dan sastra, begitu dipublikasikan, tidak memerlukan campur tangan siapa pun. Semuanya terserah pada publik yang masingmasing merupakan individu. Setiap karya seni dan sastra dianggap bagus atau tidak, penting atau tidak, memiliki pesan ini atau itu, semuanya terserah kepada penikmatnya. Film Pengkhianatan G30S/PKI perlu kita perlakukan sebagai karya seni, sekalipun lahir dari tujuan propaganda.

Halaman:

Editor: Andy Kristiyan

Tags

Terkini

Tarik Ulur Proporsional Terbuka dan Tertutup

Selasa, 21 Maret 2023 | 08:51 WIB

Mixue, Es Puter dan Es Tung Tung

Sabtu, 18 Maret 2023 | 21:42 WIB

Jalan Terjal Menuju Pemilu 2024

Sabtu, 11 Maret 2023 | 13:15 WIB

HUT Ke-73 Tahun Suara Merdeka: Adaptif-Inovatif

Sabtu, 11 Februari 2023 | 05:40 WIB

Satu Abad Nahdlatul Ulama

Selasa, 7 Februari 2023 | 13:34 WIB

Berharap pada Media Massa, Mungkinkah?

Senin, 30 Januari 2023 | 11:30 WIB

Medical Tourism, Indonesia Mengejar Ketertinggalan

Kamis, 19 Januari 2023 | 20:37 WIB

Kotak Suara Berbahan Dupleks untuk Pemilu 2024

Rabu, 18 Januari 2023 | 11:12 WIB

PR Penanganan Banjir

Senin, 9 Januari 2023 | 08:48 WIB

Program Pena Kemensos Dorong Perekonomian Masyarakat

Rabu, 28 Desember 2022 | 15:34 WIB
X