Jaksa Pinangki Sirna Malasari mulai disidang hari ini (23/9) di Pengadilan tipikor Jakarta. Publik tentu berharap rangkaian sidang akan mengungkapkan keterlibatan berbagai pihak dalam kasus Djoko Tjandra. Dari apa yang dijanjikan Pinangki, logika awam akan mengarah pada adanya permufakatan jahat. Permufakatan tidak mungkin hanya melibatan satu orang. Dari informasi yang diterima Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), ada sejumlah nama yang diduga terkait dengan pengurusan fatwa MA. Sejauh ini, yang lebih banyak mengemuka ke ruang publik adalah dugaan penyuapan dan pencucian uang. Pinangki telah menerima dana 500 ribu dolar AS (sekitar Rp 7,25 miliar) dari Djoko Tjandra lewat politikus Andi Irfan Jaya. Diduga sebagian uang itu sudah dibelanjakan, antara lain untuk membeli mobil mewah.
Aliran dana sudah tergambar. Namun, publik perlu tahu faktor-faktor apa yang membuat Djoko Tjandra bersedia mentransfer sejumlah uang kepada jaksa di Kejagung tersebut. Persidangan diharapkan bisa menguak lebih jauh manuver-manuver apa yang akan dilakukan dan melibatkan siapa saja, berdasarkan pertemuan Pinangki dan Djoko Tjandra di Malaysia. Terlebih muncul rencana untuk memberikan uang suap senilai 10 juta dolar AS (sekitar Rp 145 miliar) kepada pejabat di Kejagung dan MA.
Pendalaman terhadap kesepakatan untuk menyuap itu diharapkan juga terkuat saat sidang, sehingga bisa membuka lebih jauh tabir dugaan permufakatan jahat. Perencanaan untuk meminta fatwa bebas dari MA, dengan antara lain melibatkan petugas penegak hukum, telah didahului adanya aliran dana.
Kemungkinan aliran dana lebih besar sudah direncanakan, sebagai bentuk suap yang terkait dengan fatwa tersebut.
Hal itu menyiratkan adanya skenario kejahatan kerah putih. Skenario itu memanfaatkan pengetahuan, jaringan, dengan hasil akhirnya adalah mencederai nilai keadilan. Masyarakat tentu berharap penegakan hukum tanpa kecuali. Kasus Djoko Tjandra menunjukkan betapa kekuatan uang dan jaringan telah membuat keadilan dilecehkan. Buronan bisa melenggang pulang tanpa ditangkap. Bahkan dalam pelariannya bisa bertemu petugas penegak hukum. Saat ini kasusnya telah disidik, melibatkan Kejagung dan Polri. Kasus yang ditangani Kejagung segera memasuki persidangan. Dari keterlibatan pengacara polisi, jaksa, pengusaha, hingga politikus, tergambar mekanisme sebuah jaringan sehingga bisa dikatakan mafia hukum bekerja. Persidangan dan juga penyidikan yang masih berjalan diharapkan bisa membongkar lebih jauh praktik mafia hukum di negeri ini, dengan terlebih dahulu tentu mengungkap dan menghukum siapa pun yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra.
Termasuk pada saat yang bersangkutan bisa lolos dari hukuman pada 2009. Masyarakat perlu mengawal penanganan kasus itu, agar semua pertanyaan yang berkecamuk selama ini bisa terjawab. Dengan penanganan tuntas dan profesional maka keadilan akan ditegakkan.