JAKARTA, suaramerdeka.com - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung berisiko jika masyarakat kurang terdidik. Hal itu disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam Diskusi daring bertajuk Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah? yang disiarkan kanal youtube Negara Intitute, Sabtu (20/6).
Pendapat dari Mendagri Tito kemudian dikritisi oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menjadi nara sumber di diskusi daring itu. Ganjar berharap agar bagaimana pilkada tidak mahal. "Jika Pilkada mahal, pasti korupsinya tinggi," jelas Ganjar.
Sementara Fahri Hamzah yang juga turut menjadi nara sumber berpendapat bahwa, harus ada sistem kebijakan terkait pilkada yang mendorong agar bagaimana masyarakat tidak bermain uang dalam berbagai proses tahapan yang ada.
Dia juga mengkritisi partai politik yang menurutnya hanya berorientasi kekuasaan. "Partai politik adalah ladang pemikiran. Partai politik bukan mesin kekuasaan," kata Fahri.
Bakal Calon Gubernur Kalsel, Denny Indrayana menyatakan bahwa harus ada sistem hukum agar meminimalisir politik uang. Dia bahkan berkomitmen untuk bertahan tidak menggunakan mahar walaupun itu sesuatu yang tidak mudah.
Sementara itu, Arsul Sani menyayangkan ada ratusan kepala daerah yang terjerat korupsi di KPK. "Ada 119 kepala daerah yang terjerat korupsi di KPK, itu belum lagi yang di kejaksaan dan kepolisian," kata Arsul.
Afifuddin sebagai Komisioner Bawaslu mengatakan bahwa dua masalah besar terkait pilkada. "Pertama, politik uang dan kedua adalah netralitas ASN dalam pilkada," kata Afifuddin.
Sosiolog dan aktivis sosial Imam B. Prasodjo mengusulkan pentingnya panitia skrining kepemimpinan di partai politik agar pemimpin yang lahir benar-benar berkualitas.
Dia juga menyoroti masalah korupsi dengan pemimpin terpercaya. "Saat ini kita butuh kepala daerah yang memiliki public trust, terpercaya, di tengah perubahan dalam masyarakat," ucap Imam.