PERISTIWA bom bunuh diri di depan Gereja Kathedral Makassar (28/3) memberikan pelajaran kepada masyarakat Indonesia bahwa telah terjadi proses reproduksi paham radikal dan terorisme. Masa pandemi Covid- 19 tidak menyurutkan semangat (ghirah) jaringan radikal teroris untuk meningkatkan ekspansi keanggotaan dan melakukan serangan terhadap kelompok yang dianggap tidak sepaham dengan ideologinya. Penangkapan terhadap terduga teroris selama tahun 2020 oleh Densus 88 menunjukkan angka yang fantastis, yaitu 228 orang.
Jumlah tersebut bila dibandingkan dengan kasus penangkapan pada tahun sebelumnya memang mengalami penurunan. Tercatat bahwa pada tahun 2018, pihak aparat keamanan telah menangkap sebanyak 396 orang dan disusul pada tahun 2019 sebanyak 257 orang. Dengan melihat banyaknya kasus penangkapan yang terjadi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa proses reproduksi pengikut paham radikal teroris terus berlangsung secara berkelanjutan. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak menghalangi aktivitas perekrutan, propaganda, penyebaran narasi radikalisme. Bahkan pandemi Covid- 19 telah menjadi dan dijadikan momentum untuk melakukan optimalisasi pola perekrutan berbasis media sosial.
Tiga Faktor
Dilihat dari sisi pelaku, eksekusi di lapangan dilakukan oleh seorang atau lebih aktor yang memiliki hubungan keluarga dan terafiliasi dengan organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Selanjutnya, cara yang dipakai untuk meledakkan bom, pelaku menggunakan kendaraan bermotor dan menabrakkan kepada sasaran yang dituju. Sedangkan target yang menjadi sasaran adalah tempat ibadah (gereja) dan lokasi yang memiliki keterkaitan dengan aparat kepolisian.