”Beberapa penelitian mengungkap bahwa sejumlah kampus sudah terpapar paham radikal. Pada 2018, Badan Intelijen Negara (BIN) juga mengungkap bahwa dari 100 rumah ibadah milik kementerian/lembaga serta BUMN, 41 rumah ibadah sudah terpapar paham radikal”
AKSI orang muda dalam peristiwa bom bunuh diri di gerbang Katedral Makassar dan serangan di Mabes Polri Jakarta mengingatkan lagi tentang kewajiban, tugas, dan fungsi negara, orang tua dan komunitas pendidik untuk melindungi anak serta remaja dari semua kemungkinan terpapar paham radikal. Ketika para penyesat berpenetrasi mencekoki paham radikal kepada anak dan remaja, negara dan semua komunitas seharusnya bergerak lebih cepat menangkal, dan melindungi generasi muda. Tidak sedikit orang tua ataupun pemerhati terhenyak ketika menerima fakta bahwa dua aksi yang berujung pada kematian para pelaku itu dilakoni orang muda dalam kelompok usia generasi milenial. Lahir tahun 1995, penyerang Mabes Polri, ZA, serta bomber Makassar, pasangan L-YSF, masih dalam periode usia produktif. Mereka, dengan penuh kesadaran, tidak ingin meraih kehidupan hari esok yang lebih baik di dunia ini, karena tujuan hidup dan pola pikir mereka telah dijungkirbalikkan oleh para penyesat. Mereka memilih mengakhiri hidup untuk alasan yang tidak bisa dipahami oleh akal sehat orang kebanyakan. Namun, kendati tidak mengenal mereka secara personal, jutaan orang prihatin atas pilihan jalan hidup ketiga orang muda itu.
Pilihan jalan hidup ZAdan LYSF memberi gambaran tentang sebuah dinamika yang sangat kontras jika diperbandingkan dengan komunitas orang muda lain yang seusia dengan ketiganya. Ketika puluhan juta orang muda bergegas untuk beradaptasi dengan perubahan zaman yang ditandai oleh proses transformasi digital saat ini, ketiganya memilih jalan yang berbeda. Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah mengapa ketiganya sampai pada pilihan itu? Dan, masih ada berapa banyak lagi rekan ketiganya yang juga punya pilihan sama? ZAdan pasangan L-YSF patut menjadi contoh kasus tentang sekumpulan orang muda yang belum mendapatkan perlindungan maksimal dari negara, dari institusi agama, dan dari sistem pendidikan. Karena tak terlindungi, ketiganya sejak remaja sudah masuk perangkap penyesat yang mencekoki mereka dengan paham dan pandangan radikal, termasuk pandangan yang membenarkan aksi bunuh diri untuk mencelakai orang lain yang tak bersalah. Kalau sekarang ini disinyalir tidak sedikit orang muda Indonesia yang sepaham dengan pilihan hidup ZA dan L-YSF, ini pun menjadi bukti kegagalan negara menangkal sepak terjang para penyesat yang muncul dan berbicara di hadapan banyak orang dengan label atau identitas guru agama ataupun pendakwah. Sejumlah kalangan menggambarkan betapa para penyesat telah melakukan penetrasi hingga ke pelosok negeri. Di banyak forum keagamaan, para penyesat ini gencar menjungkirbalikkan akal sehat orang muda dengan pandangan dan paham radikal, membangun kebencian kepada siapa saja yang berbeda, dan terus menebar rasa permusuhan, termasuk dorongan untuk memusuhi negara dan bangsanya sendiri. Dan, yang memprihatinkan, penetrasi para penyesat ini bukan gejala atau kecenderungan baru, melainkan fakta yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, tak jarang sangat terbuka sehingga sering diviralkan oleh warga-net. Menghadapi kecenderungan seperti itu, negara berkesan pasif atau minimalis. Respons dari institusi agama pun amat minim. Institusi pendidikan juga terlihat tak bisa berbuat banyak untuk melindungi orang-orang muda dari paham radikal. Akibatnya, memang sangat memprihatinkan. Kini, sebagian besar masyarakat hanya bisa kecewa pada sejumlah fakta yang tak terbantahkan. Sebab, sepak terjang para penyesat itu telah berbuah dan bertebaran di banyak tempat atau titik strategis. Beberapa penelitian mengungkap bahwa sejumlah kampus sudah terpapar paham radikal. Pada 2018, Badan Intelijen Negara ( B I N ) juga mengungkap bahwa dari 100 rumah ibadah milik kementerian/lembaga serta BUMN, 41 rumah ibadah sudah terpapar paham radikal. Data BIN diperkuat oleh temuan GPAnsor tentang kecenderungan yang sama.