PESANTREN dan perguruan tinggi punya banyak kesamaan visi. Kedua lembaga tersebut mengidamkan kelahiran generasi muda yang berkarakter dan berakhlak mulia, serta bermanfaat bagi sesama. Meski pendekatan pendidikan yang dilakukannya berbeda, kesamaan visi itu membuat keduanya dapat menjalin kolaborasi secara intensif.
Kolaborasi itu mulai diinisiasi melalui Forum Silaturahmi Pesantren dan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan diskusi kelompok terpumpun ke-3 di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Minggu (21/2). Dalam pertemuan itu sejumlah kiai, habib, rektor, dan profesor memetakan persoalan dan merumuskan berbagai bentuk kerja sama.
Kolaborasi kedua lembaga pendidikan itu memiliki tiga landasan yang sangat kuat. Secara historis, Indonesia memiliki keunikan, karena kalangan pesantren, nasionalis, dan penganut agama lain bahumembahu sejak berdirinya negara. Para kiai adalah juga pendiri negara ini. Ketika pemerintah resmi berdiri, para kiai juga berperan dalam merumuskan konsep pendidikan nasional.
Kedua, pesantren dan perguruan tinggi juga memiliki visi kebangsaan yang relatif sama. Keduanya menyepakati Indonesia sebagai negara kesepakatan (darul mitsaq) dan mengidamkannya menjadi negeri yang damai, aman, dan sejahtera dalam lindungan Tuhan (baldatun thoyyibatun wa rabbhun ghaffur).
Ketiga, pesantren dan perguruan tinggi memiliki subjek yang relatif sama, yaitu generasi muda. Dengan keunikan metode pendidikan masing-masing, dua lembaga ini bisa berkolaborasi dan saling melengkapi.
Ketiga kesamaan tersebut merupakan fondasi kukuh yang membuat kolaborasi bukan saja mungkin, tetapi juga niscaya. Tentu saja, dalam praktiknya kolaborasi ini harus dilaksanakan secara hati-hati, agar tetap menghormati akidah masingmasing. Kolaborasi difokuskan pada persoalan pendidikan yang relevan dengan tantangan zaman.
Selama ini ada pandangan kurang tepat bahwa pendidikan agama dan umum adalah dua hal yang berbeda atau terpisah. Pendidikan agama yang berorientasi rohani menjadi domain pesantren, adapun pendidikan umum yang berorientasi keduniaan menjadi domain sekolah dan kampus.
Pandangan ini tidak tepat, karena menempatkan manusia sebagai pribadi yang terbelah. Padahal, dimensi rohani dan jasmani manusia tidak terpisah sebagaimana dimensi keduniawian dan spiritual juga tidak dapat dipisah. Keduanya merupakan unsur pembentuk manusia seutuhnya. Kata individu yang digunakan untuk merujuk kedirian orang per orang manusia berasal dari kata in dan devide yang berarti tidak dapat dibelah-belah lagi. Ini menunjukkan bahwa manusia adalah satu kesatuan.