EXTRAORDINARY mencuat sebagai istilah yang populer di telinga masyarakat, setelah Presiden Jokowi berulang menyampaikannya di depan para menteri, terkait dengan rendahnya daya serap anggaran di banyak kementerian. Daya serap anggaran yang rendah pada masa pandemi Covid-19 tidak berarti bahwa anggaran yang ada bersifat surplus mutlak. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa situasi pandemi berdampak secara teknis bagi timbulnya “kesulitan-kesulitaan” mengeksekusi aksi nyata di lapangan.
Masa transisi situasi pandemi menuju kenormalan baru melahirkan kecemasan sekaligus harapan. Berkaitan dengan dana atau anggaran, menghasilkan penguatan pemahaman baru yang bersifat paradoks. Paradoksal pendanaan tak terlalu dihiraukan tatkala politik anggaran lebih mengendalikan pada situasi “normal”. Kini semuanya lebih berorientasi pada fakta empirik dan pragmatis. Memang sejak dulu kala urusan dana itu seharusnya lebih riil dalam kalkulasi sumbernya dan kegunaannya.
Keolahragaan nasional sedang melakukan pembenahan secara extraordinary dalam banyak hal, terutama melalui revisi total Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional, yang sejak awal 2020 masuk Prolegnas DPR RI. Pada saat beberapa sektor sedang “bingung” dalam sisi penggunaan dana, bidang keolahragaan juga sedang “bingung”, tetapi untuk mencari formula sumber dana. Ada beberapa tuntutan proporsi APBD/APBN minimal 2%. Namun sebaiknya perlu juga digali langkah extraordinary sumber dana non- APBN/APBD.
Trauma
Dana olahraga dari masyarakat merupakan trauma buruk masa lampau. Kala itu masyarakat secara faktual hanyut dalam penggalangan dana seperti Undian Harapan, KSOB. TSSB, Porkas, dan SDSB sebagai “judi yang dilegalkan”. SDSB dengan permainan ikutannya berupa “buntutan” pun kemudian memberi dampak luas secara sosial.