Change.org baru saja merilis survey persepsi publik terhadap Covid-19 di beberapa media massa. Menjadi hal menarik ketika hasil survey menunjukan 69,6% dari 10.199 responden menganggap situasi Covid-19 saat ini serius dan tidak boleh diremehkan.
Namun kondisi di lapangan masih banyak orang yang tetap bersikap acuh atau kurang waspada terhadap penyakit ini. Seperti yang diberitakan salah satu media televisi bahwa di Sidoarjo ada masyarakat yang melakukan aksi balap liar pada Senin (20/4) dan sabung ayam di Bekasi yang melibatkan PNS, Selasa (22/4). Lalu di Banyumas, ditemukan 10 orang yang positif Covid-19 setelah melaksanakan ibadah berjamaah.
Membaca kondisi tersebut terlihat bahwa cukup banyak masyarakat sudah mulai sadar dampak bahaya Covid-19 ini. Hanya saja kesadaran yang terbangun relatif masih rentan karena sifatnya parsial dan belum menjadi sebuah keyakinan utuh. Hal ini bisa dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang biasa beraktifitas tanpa masker serta keyakinan pentingnya berkumpul atau berinteraksi sesering dan sedekat mungkin agar “guyub”.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan badan otoritas terkait. Meskipun pemerintah pusat telah menunjuk juru bicara resmi untuk penanganan Covid-19, namun peran yang dilakukan juru bicara adalah peran sentral bersifat formal. Jarak (gap) ruang, waktu, pengetahuan, emosi, pengalaman serta kondisi sosial budaya dengan beberapa kelompok masyarakat khususnya daerah pedalaman. Alhasil muncul ketidaksamaan makna yang dibangun dan diterima.
Tantangan pemerintah selanjutnya adalah muncul konten-konten viral bermuatan misinformasi dan disinformasi secara cepat dan berulang di ranah siber. Akan menjadi berbahaya jika konten tersebut mengajak melakukan hal yang bertentangan dengan ilmu kesehatan. Atau konten dengan narasi tidak takut Covid-19 karena hanya menjangkiti orang dengan imunitas lemah serta hanya mematikan untuk orang tua dan orang dengan penyakit bawaan. Terlebih jika narasi seperti itu disampaikan oleh publik figur dan pemimpin opini dengan gaya santai.
Sementara di ranah lokal permasalahan hadir karena masih banyak ditemukan pemuka agama, pemimpin perusahaan, komunitas, hingga tokoh masyarakat yang mengadakan acara kumpul-kumpul tanpa melakukan physical distancing. Berbagai kondisi tersebut berpotensi menimbulkan penguatan perilaku santai atau kurang waspada dalam mencegah penyebaran Covid-19. Tentu ini makin mempersulit penanganan wabah.