JAKARTA, suaramerdeka.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol yang kini sedang dalam pembahasan di DPR menunjukkan urgensi pembuatan kebijakan yang berbasis bukti. RUU ini tidak menyasar permasalahan sesungguhnya yang terjadi di masyarakat dan malah menyasar hal lain yang urgensinya tidak sepenting masalah yang ada
Dari dokumen pendukung yang terlampir di situs DPR, setidaknya ada empat aspek yang menjadi justifikasi mengapa RUU ini perlu segera disahkan. Keempat aspek tersebut adalah perspektif filosofis, sosial, yuridis formal dan upaya pengembangan hukum. Contohnya, erkaitan dengan aspek filosofis. Dalam presentasinya, ada klaim bahwa larangan minuman beralkohol pada dasarnya merupakan amanat konstitusi dan agama.
Hal ini terkesan bias karena minuman beralkohol merupakan komoditas yang dapat dikonsumsi dan diperdagangkan secara legal di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, tidak ada larangan yang secara eksplisit menyatakan bahwa minuman beralkohol bertentangan dengan konstitusi.
Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 telah memberikan payung hukum bagi pembatasan dan pengawasan minuman beralkohol di Indonesia.