JAKARTA, suaramerdeka.com - Penggunaan rapid test antibodi untuk diagnosa Covid-19 juga berpotensi mengacaukan proses pelacakan. Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika (FDA) dan WHO menegaskan bahwa tes antibodi tidak boleh digunakan untuk pelacakan virus karena yang dideteksi adalah kekebalan yang munculnya beberapa minggu setelah virus menjangkiti.
Di sisi lain, vaksin Covid-19 seharusnya memicu produksi antibodi di tubuh penerima yang diharapkan tahan lama jadi hasil tes antibodi mereka akan selalu reaktif. Intinya, rapid test antibodi sebenarnya mendeteksi orang yang sudah kebal Covid-19, bukan pasien.
Beberapa negara bahkan ingin menerbitkan ‘paspor kekebalan’ atau ‘sertifikat bebas-resiko’ untuk penyintas dan penerima vaksin sebagai tanda bahwa mereka aman untuk kembali bekerja dan bepergian. Saat negara lain meyakini bahwa pemilik antibodi – yaitu penyintas dan penerima vaksin – adalah ujung tombak pemulihan ekonomi, mereka malah terbentur peraturan yang berakar dari salah paham fungsi tes antibodi di Indonesia.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menuturkan, pemerintah sepertinya sudah mulai menyadari masalah ini dan mengganti rapid test antibodi dengan rapid test antigen untuk syarat perjalanan wilayah Jawa dan Bali.
Baca juga: Ingat Ya! Lokasi Random Check Rapid Test Dirahasiakan
"Rapid test antigen mendeteksi adanya protein virus di hidung dan tenggorokan dalam waktu kurang dari 30 menit. Jadi tes ini tujuannya sama dengan PCR walaupun komponen yang dicari berbeda dan kecepatannya seperti rapid test antibodi. Seperti dilansir Nature, rapid test antigen bisa mendeteksi virus di dua minggu pertama infeksi, sebelum tubuh mulai memproduksi antibodi. Tentu tes ini lebih tepat sasaran untuk pelacakan virus dibandingkan tes antibodi," kata dia.
Biayanya pun lebih murah dari PCR, walaupun memang lebih mahal daripada rapid test antibodi. Sensitivitasnya lebih rendah daripada PCR karena hanya mendeteksi virus dalam dua minggu pertama. Tetapi setidaknya yang dicari memang virusnya. Mengingat Indonesia masih terus kekurangan tes PCR, memperluas jangkauan tes ini ke luar Jawa dan Bali bisa mengisi kekurangan kapasitas diagnosa nasional untuk sementara.
Paling tidak, kemiripannya dengan PCR dikombinasikan dengan kecepatannya dan biaya yang lebih rendah bisa membantu Indonesia meningkatkan jangkauan tes diagnosa Covid-19 yang merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian pandemi.
“Keberadaan vaksin tetap harus dibarengi dengan perbaikan metode diagnosa, peningkatan kapasitas layanan kesehatan, dan internalisasi protokol kesehatan sebagai gaya hidup baru. Kebijakan yang memastikan semua metode pengendalian ini bekerja bersama akan membentuk kerangka pengendalian pandemi yang menyeluruh dan memberikan kinerja terbaik dalam mempercepat pemulihan negara ini dari krisis kesehatan terbesar abad ini,” tandasnya.