JAKARTA, suaramerdeka.com - Penggunaan rapid test antibodi untuk diagnosa Covid-19 juga berpotensi mengacaukan proses pelacakan. Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika (FDA) dan WHO menegaskan bahwa tes antibodi tidak boleh digunakan untuk pelacakan virus karena yang dideteksi adalah kekebalan yang munculnya beberapa minggu setelah virus menjangkiti.
Di sisi lain, vaksin Covid-19 seharusnya memicu produksi antibodi di tubuh penerima yang diharapkan tahan lama jadi hasil tes antibodi mereka akan selalu reaktif. Intinya, rapid test antibodi sebenarnya mendeteksi orang yang sudah kebal Covid-19, bukan pasien.
Beberapa negara bahkan ingin menerbitkan ‘paspor kekebalan’ atau ‘sertifikat bebas-resiko’ untuk penyintas dan penerima vaksin sebagai tanda bahwa mereka aman untuk kembali bekerja dan bepergian. Saat negara lain meyakini bahwa pemilik antibodi – yaitu penyintas dan penerima vaksin – adalah ujung tombak pemulihan ekonomi, mereka malah terbentur peraturan yang berakar dari salah paham fungsi tes antibodi di Indonesia.