PARA pakar menaruh perhatian atas kasus Raffi Ahmad usai mendapat vaksin Covid-19 di Istana Negara pada Rabu 13 Januari lalu. Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Undip Dr Nurul Hasfi mengatakan, kejadian Raffi Ahmad justru menjadi bahan kritik bagi pemerintah, jangan sekadar menyalahkan artis. Kita bisa bertanya mengapa artis yang diundang ke istana untuk melakukan vaksinasi saja ternyata tidak mendapat pemahaman yang baik tentang bagaimana bertindak setelah mendapatkan vaksin.
Ironis saja, karena di layer satu saja sosialisasi vaksinasi tidak berjalan baik bagaimana di level masyarakat. Pemerintah salah fokus, karena nampaknya lebih mencoba untuk menyelesaikan masalah semata pada wacana ‘‘penolakan vaksinasi’’ yang coba ditangkal dengan endorser ternama seperti itu, sementara masalah yang lebih krusial yakni pemahaman tentang pra vaksin dan pasca valsin belum berjalan karena penjelasan scientifik belum dipahami publik, bahkan hal yang paling mendasar seperti kasus Rafi.
Ironisnya lagi komunikasi publik yang diambil pemerintah seperti latah menggunakan artis/ endorser sebagai jalan untuk mempengaruhi publik yang mana dalam komunikasi publik ini adalah cara-cara manipulatif, instan mencari jalan pintas dan membodohi masyarakat. Komunikasi publik yang baik adalah yang menjangkau substansi masalah bukan sebatas mempersuasi semata.
Dampak negatifnya akhirnya terlihat, penggunaan endorser artis ternyata membawa risiko yang membahayakan publik karena sosialisasinya yang tidak rapi. Endorser bisa menjadi pedang bermata dua, satu sisi bisa mempengaruhi masyarakat bersedia melakukan vaksin (sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah). Namun sisi lain saat yang bersangkutan melakukan kesalahan masyarakat bisa jadi akan menirunya. Kasus Rafi justru membawa boomerang bagi program ini. Disinilah metode mitigasi Covid-19 yang dilakukan pemerintah justru gagal karena membahayakan nyawa masyarakatnya.
Edukasi jauh lebih efektif untuk jangka panjang, sanksi itu hanya berlaku jangka pendek dan tidak menyentuh substansi. Masyarakat bisa memilih membayar denda dari pada divaksin selama dia memiliki uang. Belum lagi jika pemahaman vaksinasi belum selesai, maka bisa jadi pilihan divaksin atau tidak menjadi hak asasi manusia bukan lagi kewajiban. Namun itu tadi edukasi memang membutuhkan waktu, uang dan tenaga inilah yang selama ini nampaknya dihindari pemerintah yang inginnya serba instant.