ANAK istri menunggu di rumah. Tulisan mencolok di bak truk itu dengan jelas terlihat oleh Eko Farisul A'la saat mengendarai sepeda motor sepulang kerja. Awalnya tulisan itu hanya memancing senyum, namun setelah lama tulisan itu dipikirkannya serius.
"Tulisan itu memancing pemikiran saya, yang kala itu hanya seorang 'kontraktor' (tukang kontrak rumah, red). Sebelum 2016 saya bersama isteri bolak balik pindah rumah kontrakan. Itu sungguh tak nyaman," kata pria kelahiran akhir 1984 ini asal Kebumen yang kini tinggal di Perumahan Bukit Kalibagor Indah, Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah ini.
Sebagai penghuni rumah kontrakan, keluarga muda Eko harus membayar sewa tiap bulan. Padahal dengan hak sewa, ia bersama isteripun tak bisa merubah dan mengatur kondisi eksterior dan interior rumah kontrakan sesuai keinginan mereka. Makanya lambat laun kejenuhan sering dirasakan mereka sebagai pasangan muda.
"Dengan kondisi itulah saya begitu memahami betapa rumah adalah kebutuhan primer kami. Apalagi kami berdua sejak bekerja dan menikah memang sudah jauh dari tempat tinggal masing-masing. Makanya harus mandiri," jelas pria asal Kebumen ini.
Sebagaimana pasangan muda lainnya, keinginan Eko memiliki rumah sendiri pun makin menggebu. Namun keinginan itu sempat menjadi sebatas keinginan saja. Pasalnya sebagaimana kota besar, tren kenaikan harga tanah dan rumah juga terjadi di Kota Kecil semacam Purwokerto. Harga rumah sudah ratusan juta berbanding terbalik dengan penghasilannya sebagai pemasar buku pelajaran yang sering mengalami pasang surut.
"Makanya kami sempat khawatir, namun kami terus mencari peluang dan terus berusaha menyisihkan pendapatan kami sekecil apapun. Harapannya kami, cepat atau lambat kami akan punya rumah. Kami menolak pasrah," katanya pria lulusan Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto itu.