JAKARTA, suaramerdeka.com - Merespon argumen bahwa program revitalisasi bukanlah program instan, pemerintah dapat memanfaatkan perdagangan internasional sebagai cara untuk memenuhi kekurangan persediaan gula dan menjaga kestabilan harganya di Tanah Air. Namun sayangnya, harga yang disebut stabil belum tentu terjangkau bagi masyarakat luas. Mekanisme impor yang masih terbatas tidak cukup mampu menekan harga gula di tingkat konsumen.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyebut, berdasarkan perbandingan data PIHPS dan Bank Dunia, harga gula nasional lebih mahal 217 persen kalau dibandingkan dengan harga gula internasional. Bukan tidak mungkin gula impor yang masuk ke pasar konsumsi memiliki perbedaan harga yang kecil dengan harga gula domestik. Kondisi ini membuktikan bahwa implementasi hambatan non-tarif malah tidak mampu menekan harga di pasar.
“Kalau kondisi tingginya harga gula dan defisit persediaan gula ini dibiarkan, wajar jika terjadi masalah rembesan gula rafinasi yang akan berdampak, tidak hanya di segi ekonomi namun juga kesehatan. Hal ini terjadi karena pengadaan gula rafinasi melalui mekanisme impor raw sugar memiliki restriksi impor yang lebih sederhana. Hal ini akhirnya juga berdampak pada jumlah gula rafinasi yang beredar dan juga harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula konsumsi,” tandasnya.