JAKARTA, suaramerdeka.com - CIPS menganalisa tiga skenario terkait implementasi hambatan pada perdagangan pangan yang memengaruhi harga pangan Indonesia. Skenario pertama adalah skenario business-as-usual (BAU) yang mengasumsikan tidak adanya perubahan hambatan tarif dan non-tarif oleh Indonesia dan mitra perdagangannya.
Dalam skenario kedua, mitra perdagangan pangan Indonesia, seperti India, memberlakukan hambatan ekspor, sementara kebijakan perdagangan Indonesia tetap sama. Sementara itu pada skenario ketiga, Indonesia melonggarkan hambatan perdagangannya dengan menghapuskan hambatan tarif dan non-tarif.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Felippa Ann Amanta menjelaskan pada skenario pertama, Indonesia memberlakukan baik hambatan tarif maupun non-tarif untuk impor pangan. Hambatan tarif menambahkan tarif impor rata-rata untuk produk pangan sebesar 6,39 persen pada tahun 2018. Sementara untuk hambatan non-tarif menyebabkan adanya tarif sebesar 41% pada kegiatan-kegiatan penambah nilai di seluruh rangkaian rantai pasokan.
Pihak swasta, dilanjutkan Peneliti CIPS lainnya Ira Aprilianti, harus mengantongi kuota dan SPI melalui sistem perizinan impor non-otomatis yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan setelah mendapatkan surat rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Jumlah kuota diatur melalui rapat koordinasi antara lima kementerian dan badan pemerintah yang berbeda dan juga berdasarkan data dan stok produksi yang sering dianggap tidak akurat.
Dengan tidak adanya penghapusan hambatan perdagangan, impor pertanian Indonesia diestimasi akan turun sebesar 17,11 persen jika tidak ada Covid-19. Sementara itu, ekspor pertanian bisa jatuh hingga 42,45 persen. Angka ini diperkuat oleh adanya penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 4,87 persen karena kematian, kerentanan terpapar virus, pembatasan pergerakan atau mobilitas (misalnya, akibat PSBB), dan merawat anggota keluarga yang terpapar virus.