Salah satu mursyid tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) paling awal di Jawa Tengah adalah Kiai Ibrahim Brumbung. Ia lahir di Semarang, tepatnya di daerahTerboyo padat ahun 1839. Ayahnya bernama RadenThohir bin Yudo Negoro alias RadenSyahid bin Raden SurohadiMenggolo alias Sayid Muhammad. Raden Surohadi Menggolo juga dikenal dengan sebutan Kanjeng Sunan Terboyo yang makamnya berada di belakang Masjid Terboyo Semarang.
Dilihat dari tahun kelahirannya, usia Kiai Ibrahim Brumbung tidak terpaut jauh dengan usia Kiai Sholeh Darat (1820-1903), Kiai Kholil Bangkalan (1820-1925), dan Syekh Nawawi Al-Bantani (1813-1897). Bahkan dengan guru mursyidnya, Syekh Abdul Karim Banten (lahir 1830), usia Kiai Ibrahim hanya selisih 9 tahun.
Kiai Ibrahim memperoleh pendidikan agama di pelbagai pondok pesantren, di antaranya Pondok Pesantren Cepaka Nganjuk, Pondok Pesantren Mangunharjo, Pondok Pesantren Langitan Tuban (ketiganya di JawaTimur), dan pesantren di Banten. Tidak menutup kemungkinan Kiai Ibrahim juga belajar dengan ulama-ulama Makkah karena ia beberapa kali melaksanakan ibadah haji. Sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa waktu itu, selain haji mereka juga belajar agama khususnya kepada ulama-ulama Jawa yang menetap di Makkah (Al-Jawi Al-Makky).
Kiai Ibrahim menikah dengan Nyai Janah yang tinggal di Desa Ngemplak (masihwilayahMranggen). Tahun 1870 ia terpanggil untuk memakmurkan Masjid Brumbung (sekarang Masjid Besar Nurul Huda) yang merupakan peninggalan seorang perempuan keturunan nabi bernama Sayyidah Sakdiyah. Kiai Ibrahim kemudian pindah ke Brumbung dan mendirikan pesantren yang saat ini bernama Ibrohimiyyah.