MUDA, mapan dan peduli. Itulah sekilas saat melihat sosok dokter Faiz Alauddien Reza Mardhika (26). Di beranda media sosialnya, terkadang Reza, panggilan akrabnya, mengunggah kegiatan mengurus bisnisnya mulai rapat, kunjungan lapangan, hingga sosialisasi pembukaan unit usaha kepada masyarakat.
Terkadang, dokter kelahiran Kebumen, 19 Desember 1992 itu mengunggah pergi traveling keliling Eropa atau makan malam di restoran bersama keluarga dan sahabat dekatnya. Tetapi di lain waktu, dokter yang saat ini terjun sebagai pengusaha itu berada di gang-gang sempit rumah tak layak huni untuk memeriksa kesehatan orang-orang papa. Pada hari yang lain, Reza bersenda gurau dengan para disabilitas.
Ya, anak sulung mantan Bupati Kebumen Ir H Mohammad Yahya Fuad SE dan Dra Hj Lilis Nuryani itu memang memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap pemberdayaan masyarakat kecil utamanya masyarakat marginal seperti disabilitas. Maka di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaan Tradha Group yang bergerak di bidang developer, contractor, AMP, beton ready mix, SPBE, SPBU hingga pabrik pupuk organik, Reza melakukan proyek sosial di Ascendia Project yang dia dirikan.
Bahkan, Reza yang terpilih sebagai Alumni Inspiratif Fakultas Kedokteran (FK) UGM itu pada Agustus lalu meresmikan Ascendia Center, sebuah disabilitas center di bawah naungan Yayasan Trada Rajasa Negara sebagai pusat layanan dan pengembangan kapasitas bagi para penyandang disabilitas. Disabilitas center itu pun menjadi wadah berkegiatan serta pengembangan kapasitas diri para disabilitas di Kebumen.
Dokter Reza Mardika mengatakan bahwa disabilitas center itu mengusung empat pilar yakni pendidikan anak usia dini pada disabilitas, pengembangan bakat pada disabilitas, pengembangan ketrampilan, dan penciptaan lapangan pekerjaan bagi disabilitas. Lembaga ini dibentuk atas dasar permasalahan disabilitas yang ada di Kebumen. Bahwa jumlah disabilitas cukup banyak mencapai 12.000 orang dan tidak berdaya sehingga tidak memiliki pekerjaan.
"Dari 12.000 itu, hampir semua menyumbang pada angka kemiskinan karena keberadaan mereka tidak berdaya," ujar dr Reza dalam perbincangan dengan Suara Merdeka, baru-baru ini.
Selain itu, meskipun Kebumen telah memiliki sekolah inklusi, yakni ada 10 sekolah yang dicanangkan, namun masih sebatas nama. Secara kualitas di lapangan, nyatanya masih belum terjadi inklusi. Yang menjadi keprihatinan adalah, banyak orang tua yang tidak tahu cara mendidik anak disabilitas.
Kebanyakan orang tua juga masih menyembunyikan anak disabilitas di rumah. Sampai usia tertentu, orang tua baru sadar dan disekolahkan ke SLB. Dengan demikian proses pendidikan anak disabilitas sangat lambat seperti umur 10-11 tahun baru masuk SD.