“Makanya, ketika kita basisnya paparan, maka semua potensi paparan itu harus dihitung, harus dicek. Jadi misalnya masyarakat kita itu berpotensi terpapar BPA, itu harus diteliti juga dari mana saja BPA itu berasal."
Baca Juga: Festival Kota Lama ke-11 Digelar 11 Hari
"Karena kurang bermakna juga kalau yang ditekankan itu hanya potensi paparannya saja,” tukasnya.
Karena, menurutnya, ujung dari me-manage risiko itu adalah mengurangi resiko terpapar terhadap bahaya yang diidentifikasi tersebut.
“Jadi, penelitiannya harus lengkap agar efektif dan efisien. Karena, kalau hanya parsial, bisa jadi tujuan dari kebijakan itu tidak tercapai,” ungkapnya.
Baca Juga: Satpas Buka Pendaftaran Pemohon SIM Berkebutuhan Khusus
Jadi, tegasnya, yang diteliti itu bukan jumlah BPA pada produk tetapi jumlah BPA yang masuk ke dalam tubuh.
“Dan itu juga, yang diuji seharusnya tidak hanya BPA yang ada pada produk AMDK saja, tapi semua kemasan pangan lain yang juga ber-BPA,” ucapnya.
Dia mengatakan bahwa melakukan kajian resiko kepada masyarakat itu sesuai dengan amanat PP No.86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
Artikel Terkait
Usai Kenaikan BBM Bersubsidi, Penanganan Persoalan Pangan Tidak Bisa Dilakukan dengan Cara Konvensional
Hadapi Krisis Pangan dan Inflasi, Cadangan Pangan Nasional Harus Diperkuat
Airlangga: Diversifikasi Pangan Lokal Perlu Didorong untuk Turunkan Ketergantungan Impor Gandum
PT Heinz ABC Indonesia Tegaskan Komitmen Kepatuhan Standar Keamanan Pangan, Ada Standarisasi Berlapis
Kenaikan Harga Komoditas Pangan Masih dalam Batas Wajar, Pemkot Semarang Siapkan Strategi Pengendalian Harga