SEMARANG, suaramerdeka.com - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai kasus perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal asing masih minim perhatian dari publik.
Sekjen SBMI, Bobi Anwar menyatakan, dari sekian kasus yang diadvokasinya selama ini, sebagian besar terhenti di tengah jalan.
Dengan kata lain mayoritas tak sampai pada proses hukum atau masuk ranah pengadilan.
"Kami melakukan dua pendekatan dalam upaya advokasi, yakni litigasi (peradilan) dan nonlitigasi (mediasi) yang melibatkan pemerintah maupun perusahaan. Upaya litigasi yang sulit, karena selama ini berhenti di tengah jalan, walaupun sudah ada undang-undang tentang tindak pidana perdagangan orang," kata Bobi.
Baca Juga: Lurah Hebat: Kelurahan Gunungpati Berdayakan Ekonomi Masyarakat
Hal ini diutarakan dalam sela-sela kegiatan pemutaran dan diskusi film dokumenter 'Before You Eat' yang diadakan SBMI dan Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Semarang, Jumat 24 Juni 2022.
Pihaknya mencatat, kasus perbudakan ABK Indonesia paling tinggi terjadi pada 2021, dengan 188 kasus.
Kendala yang dihadapi selama ini karena lambannya aturan turunan undang-undang dalam bentuk peraturan pemerintah. Sehingga berdampak pada lamanya pembentukan aturan di bawahnya seperti peraturan daerah (perda).
"Pemerintah pusat dimandati untuk menerbitkan aturan turunan dalam bentuk peraturan pemerintah dari tahun 2017. Harusnya selesai 2019, tetapi pada praktiknya baru rampung awal Juni 2022. Ini otomatis memperlambat perda-perda di daerah," ungkapnya.
Artikel Terkait
KM Barokah Jaya Kecelakaan di Perairan Subang, 1 ABK Hilang, 12 Berhasil Selamat
KJRI Cape Town - ABK WNI Jalin Komunikasi Bantuan Logistik Tepat Sasaran
Tertahan 2 Tahun di Laut, Kemlu Berhasil Pulangkan 172 ABK WNI Stranded dari Fiji
Kapal Karam di Laut Selatan, 3 ABK MV Jaya Berkah dalam Pencarian
ABK Kapal Brika: Alhamdulillah Kami Tidak Merasa Sendirian di Luar Negeri