Survei UGM Ungkap Penolakan Vaksin dan Teori Konspirasi Covid-19

- Kamis, 25 Maret 2021 | 11:36 WIB
Foto: istimewa
Foto: istimewa

YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Sejak pemerintah mengumumkan vaksinasi Covid-19 di Indonesia, masyarakat telah dihadapkan dengan berbagai dilema pemberlakuan kebijakan ini, sehingga memengaruhi persepsi masyarakat terhadap program vaksinasi. Apalagi pemberitaan dan informasi yang beredar di media sosial sedemikian masif sehingga memengaruhi pandangan, sikap dan keyakinan masyarakat.

Survei Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM menemukan data mengejutkan terkait aktivitas masyarakat di media sosial media. Survei masih menemukan seruan kelompok yang menolak vaksin Covid-19. Bahkan, terdapat 49,9 persen dari total 601 responden menolak untuk menjadi penerima vaksin Covid-19 pertama.

Kajian dan riset CfDS itu diinisiasi Amelinda Pandu Kusumaningtyas, Iradat Wirid dan beberapa peneliti senior CfDS. Riset berusaha menelaah lebih lanjut mengenai persepsi masyarakat keterkaitan pandangan mereka terhadap Covid-19 dan sumber informasi yang beredar.

Baca juga: Vaksinasi Covid-19, Penyebaran Misinformasi Jadi Tantangan Kemenkes

Dari survei CfDS yang dilakukan pada Februari 2021 berdasarkan tingkat pendidikan dan persepsi terhadap vaksin Covid-19 disebutkan mayoritas masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi (diploma-S3) menganggap vaksin Covid-19 penting, baik untuk diri sendiri maupun keluarga. Sementara jenis atau merek vaksin yang paling banyak dirujuk di antaranya Sinovac (41,8 persen), Pzifer, dan Biofarma.

“Masyarakat  menilai vaksin harus bersifat wajib, terlepas dari gratis atau tidaknya. Meski begitu masih terdapat hampir 40 persen masyarakat tidak setuju dengan kebijakan wajib vaksin Covid-19 yang mayoritas merupakan masyarakat berpendidikan tinggi, dan ini secara langsung berdampak pada persepsi negatif masyarakat yang menyurutkan kesediaan untuk menerima vaksin," ujar Amelinda Pandu Kusumaningtyas, peneliti CfDS saat jumpa pers via Google Meets, Rabu (23/3).

Amelinda menyebut hasil penelitian CfDS memperlihatkan sebagian besar masyarakat Indonesia pengguna layanan digital mengakses informasi Covid-19 melalui lini sosial media. Yang juga mengejutkan 81,5 persen di antaranya masih bersinggungan dengan berbagai bentuk postingan yang memuat teori konspirasi.

Baca juga: Sertifikat Vaksin Syarat Bepergian, Satgas: Baru Sebatas Wacana dan Belum Direalisasikan

Menurutnya, mayoritas masyarakat masih percaya dengan teori konspirasi elite global yang menyatakan bahwa vaksin Covid-19 dibuat demi keuntungan korporasi farmasi, ataupun untuk memasukan microchip dalam tubuh manusia. “Belum lagi ada masyarakat Indonesia juga masih percaya dengan paparan informasi hoaks bila kesembuhan pasien bisa dengan kalung anti-Covid-19," katanya.

Dalam penelitiannya, Amelinda menandaskan informasi media sosial berpengaruh terhadap opini masyarakat Indonesia. Terlepas dari latar belakang yang dimiliki, masih saja terdapat masyarakat yang terpapar pusaran berita palsu ataupun teori konspirasi yang beredar di sosial media.

Dalam penelitian yang terkait analisis teks media sosial, sebaran hoaks dan konspirasi terkait Covid-19, CfDS juga melakukan analisis yang mendalam dengan memanfaatkan data dari cuitan dan postingan netizen di berbagai platform sosial media. Iradat Wirid menyebut dari pengambilan data sejak Maret 2020-Februari 2021 terdapat lebih dari 18.400 cuitan di Twitter yang memuat “Tolak Vaksin” atau “Anti Vaksin”.

Baca juga: Pembelajaran Tatap Muka, Kesiapan Sekolah dan Jangkauan Vaksinasi Perlu Diperhatikan

Bersamaan dengan postingan masyarakat tersebut, katanya, lebih dari 1.000 cuitan merujuk pada bantahan terhadap penolakan vaksin Covid-19 Sinovac. Sementara lebih dari 4.000 cuitan mengandung kata ‘PDIP’, ‘rakyat’, ‘PKI’ dan ‘Pemerintah’ sebagai bentuk penolakan balik postingan anggota DPR Ribka Tjiptaning yang tidak mendukung vaksin Covid-19.

“Sama halnya pada platform berbagi video Youtube, terdapat 11 video teratas yang membahas mengenai penolakan Ribka Tjiptaning, dengan penonton lebih dari 13 juta pengguna dan 62.000 komentar," kata peneliti Iradat Wirid.

Halaman:

Editor: Andika

Tags

Terkini

X