JAKARTA, suaramerdeka.com - Selain menjanjikan peluang dan kesempatan, pemanfaatan platform digital dalam kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) juga memunculkan beragam tantangan dan persoalan. Masyarakat dan donatur mulai mengeluhkan dan melaporkan beragam praktik filantropi yang dinilai kurang etis.
Persoalan etika ini banyak ditemui pada tahapan kampanye dan penggalangan sumbangan secara digital. Untuk meminimalisir dan mengatasi masalah ini, organisasi dan pegiat filantropi dituntut untuk menerapkan dan menegakkan kode etik dan pedoman terkait kegiatan filantropi di era digital.
Urgensi penegakan kode etik dalam kegiatan filantropi yang menggunakan platform digital ini mengemuka pada acara Philanthropy Learning Forum dengan topik "Etika Filantropi di Era Digital" yang digelar di Jakarta, Selasa, 9 Maret 2021. Acara tersebut yang diikuti para pegiat filantropi ini menghadirkan 4 pembicara, yakni Tommy Hendrajari (Ketua Gugus Tugas Kode etik Filantropi Indonesia), Bambang Suherman (ketua Forum Zakat/FOZ), Heny Widiastuti (Dewan pengawas Humanitarian Forum Indonesia/HFI) dan Nugaha Andaf (CEO Andaf Corporation Digital Agency).
Tomy Hendrajati, Ketua Gugus Tugas KEFI (Kode Etik Filantropi Indonesia), menyatakan bahwa filantropi digital berkembang pesat di indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pesatnya pemanfaatan platform digital dalam kegiatan filantropi juga diakselarasi oleh kondisi pandemi Covid-19 yang memaksa sebagian aktivitas berpindah ke platform digital, termasuk kegiatan filantropi.
Era digital tidak hanya menjanjikan peluang dan kesempatan bagi pengembangan kegiatan filantropi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, tapi juga memunculkan beragam tantangan dan persoalan, terutama persoalan terkait etika.
Beberapa persoalan etika yang terjadi dalam kegiatan filantropi, diantaranya maraknya penggalangan donasi untuk kepentingan pribadi (biaya menikah atau membayar hutang), penggunaan gambar atau video yang mengeksplotasi kesedihan dan penderitaan korban, frekwensi dan intensitas kampanye dan tawaran donasi yang menimbulkan ketidaknyamanan calon donatur, pelanggaran hak cipta dalam penggunaan gambar dan video untuk materi kampanye, ketidaksesuaian penyaluran dan pemanfaatan sumbangan, minimnya transparansi dan akuntabilitas, narasi provokasi dan ujaran kebencian dalam penggalangan donasi untuk konflik sosial, sampai cyber bullying terhadap penggalang donasi, organisasi dan penerima manfaat.
"Jika dilihat dari 4 tahapan filantropi, yakni penggalangan, pengelolaan, penyaluran dan pelaporan/pertanggungjawaban sumbangan, persoalan etika filantropi digital banyak terjadi di tahapan kampanye untuk penggalangan sumbangan" katanya.
Menurut Tomy, Untuk mengatasi masalah etika ini, beberapa organisasi dan asosiasi sebenarnya sudah menerbitkan kode etik atau pedoman dalam menjalankan kegiatan filantropi atau fundraising. Filantropi Indonesia, misalnya, menerbitkan Kode Etik Filantropi Indonesia (KEFI) sebagai pedoman perilaku pegiat filantropi dalam menjalankan kegiatan filantropi atau kedermawanan sosial.
Selain KEFI, ada juga Kode Etik Amil yang diterbitkan Forum Zakat dan Pedoman Akuntabilitas Bantuan Kemanusiaan yang diinisasi oleh Humanitarian Forum Indonesia.
"Sayangnya, Kode Etik dan Pedoman ini belum berperan optimal dalam meminimalisir dan mengatasi persoalan etika dalam kegiatan filantropi. Selain minimnya sosialisasi, lemahnya mekanisme pengawasan dan penegakan kode etik juga menjadi kendala dalam mengatasi masalah-masalah etik yang muncul di lapangan." katanya.