Tak Mempan Disuap, Perberat Hukuman Koruptor

- Senin, 1 Maret 2021 | 01:00 WIB
SM/dok - Artidjo Alkostar
SM/dok - Artidjo Alkostar

Kabar duka menyelimuti dunia hukum Indonesia. Artidjo Alkostar, mantan hakim agung sekaligus anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wafat di usia 73 tahun. Di jagat hukum, Artidjo Alkostar dikenal sebagai pribadi yang jujur, berintegritas yang kerap memperberat hukuman para pelaku korupsi.

PURNA sebagai pengawal keadilan pada 22 Mei 2018, pria kelahiran 22 Mei 1948 itu sejatinya ingin pensiun. Pulang kampung, memelihara dan mengembangkan usaha di Sumenep. ”Saya akan pulang kampung memelihara kambing. Nggak muluk-muluk. Pulang kampung,” kata Artidjo kala itu. Namun rencananya tak berjalan mulus.

Negara masih membutuhkan kontribusinya. Pada Desember 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta dirinya menjadi anggota Dewan Pengawas KPK. Artidjo menyanggupinya dan mengurungkan niat menikmati pensiun menggembala kambing. ”Ya panggilan republik ini, saya tidak boleh egoistis,” kata Artidjo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, saat itu. Merampungkan studinya di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, semasa kuliah, Artidjo dikenal menjadi aktivis dalam berbagai organisasi.

Kekritisannya tetap terjaga saat menjadi advokat di LBH Yogyakarta. Memasuki masa reformasi, namanya disodorkan Menteri Kehakiman kala itu, Yusril Ihza Mahenda, menjadi hakim agung. Setelah itu, namanya lolos di DPR dan dia menjadi hakim agung selama 18 tahun hingga Mei 2018. Selama bertugas sebagai hakim agung, Artidjo menangani 19.708 berkas perkara.

Dalam pernyataannya ketika purna tugas, Artidjo mengaku masih banyak kekurangan. Dirinya percaya, MA di masa mendatang bisa menjadi lebih baik. ”Saya percaya pengganti saya jadi lebih baik,” kata Artidjo saat jumpa pers perpisahan kala itu. Kini Artidjo Alkostar telah berpulang. Sosoknya pun dikenang oleh Menko Polhukam Mahfud Md sebagai sosok hakim agung yang kerap memperberat vonis para koruptor.

Artidjo Alkostar adalah hakim agung yang dijuluki algojo oleh para koruptor,” kenang Menko Polhukam Mahfud Md lewat cuitan di Twitter, Minggu (28/2). Mahfud menceritakan Artidjo Alkostar tak ragu menjatuhkan vonis berat kepada para koruptor. Keputusan itu diambil tanpa mempedulikan siapa di belakang para koruptor itu. Kabar soal meninggalnya Artidjo sendiri dicuitkan Mahfud.

”Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yg penuh integritras. Mantan hakim agung Artidjo Alkostar yg kini menjabat sbg salah seorang anggota Dewan Pengawas KPK telah wafat siang ini (Minggu, 28/2/2021),” cuit Mahfud. Kabar meninggalnya Artidjo juga dikonfirmasi Ketua Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris. Namun ia masih belum tahu apa penyebab kematian Artidjo.

”Iya, saya juga baru tahu beritanya,” kata Syamsudin. Sejumlah kasus korupsi yang sempat ditangani Artidjo diantaranya kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang yang menyeret eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Artidjo menghadiahi Anas hukuman 14 tahun penjara subsider satu tahun dan empat bulan kurungan, hukuman uang pengganti sebesar Rp 57,5 miliar, serta dicabut hak politik untuk dipilih.

Hukuman tersebut lebih berat dari vonis tujuh tahun di tingkat banding, yang meringankan vonis di tingkat I. Selain itu, kasus besar lain adalah kasasi kasus korupsi yayasan dengan terdakwa mantan Presiden Soeharto. Artidjo saat itu masuk sebagai majelis hakim. Syafiuddin Kartasasmita saat itu sebagai ketua sementara dia dan Sunu Wahadi duduk sebagai anggota.

Berbeda Pendapat

Saat itu baik Syafiuddin dan Sunu menginginkan perkara dihentikan, namun Artidjo berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan dua hakim tersebut. Akhirnya dicapai kompromi: Soeharto tetap terdakwa, tapi dilepas statusnya sebagai tahanan kota dan dirawat dengan biaya negara. Setelah sembuh dibawa ke pengadilan. Artidjo kembali memberikan pendapat berbeda dalam sidang peninjauan kembali kasus pembelian cessieBank Bali, yang akhirnya membebaskan Joko S.

Tjandra. Ia tak setuju jika Joko dibebaskan. Majelis hakim kasus ini, antara lain, Komariah E. Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan I Made Tara. Dalam putusan sebelumnya, Joko dikenai hukuman penjara dua tahun denda Rp 15 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain dikenal akan ketegasannya, Artidjo juga dikenal sebagai figur yang sederhana.

Di masa-masa awal menjadi Hakim Agung, Artidjo kerap naik bajaj atau taksi untuk menuju kantornya. Hal itu karena di awal kariernya, hakim agung belum mendapatkan kendaraan dinas. Bahkan, karena belum juga mendapat fasilitas rumah dinas dari MA, Artidjo mengontrak sebuah rumah di perkampungan di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, di belakang deretan bengkel las.

Selain selalu menolak mengambil cuti selama bertugas sebagai hakim agung, Artidjo diketahui juga pernah menolak mengambil gajinya selama sembilan bulan. Alasannya, dia merasa tidak bekerja selama sembilan bulan karena tengah menjalani short coursedi Amerika Serikat. Karena merasa tak bekerja, Artidjo menolak menerima gaji. Namun karena khawatir sikap tersebut berimbas pada hakim agung lain.

Halaman:

Editor: Imron Rosadi

Tags

Terkini

X