JAKARTA, suaramerdeka.com - Lembaga Survei Indodata merilis potret peredaran rokok ilegal di Indonesia, yang dalam persentase perhitungan ditemukan sebesar 28,12 persen responden pernah dan sedang mengonsumsi rokok ilegal.
"Ini bukti bahwa ternyata penyebaran rokok ilegal di Indonesia sudah sangat masif dan berbeda jauh dengan temuan-temuan sebelumnya, bahkan pernyataan-pernyataan sebelumnya, penemuan kami berada di atas 25 persen," kata Direktur Eksekutif Indodata, Danis TS Wahidin dalam konferensi pers Hasil Survei Rokok Ilegal di Indonesia yang digelar hibrida dari Hotel Morrisey, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Minggu 24 Oktober 2021.
Kemudian jika konsumsi rokok ilegal itu dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, lanjut Danis, bisa mencapai Rp 53,18 triliun.
"Karena estimasi prediksi rentang peredaran rokok ilegal itu ada 127,53 miliar batang dan temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38 persen," jelas Danis.
Baca Juga: Tokoh Perumus Teks Sumpah Pemuda, Ini Profil Mohammad Yamin
Danis menerangkan, latar belakang survei ini berangkat dari perdebatan tentang relasi antara peningkatan dan tingginya cukai terhadap rokok resmi dengan rokok ilegal di Indonesia.
"Muncul perdebatan penting lainnya, terkait dengan dampak dari peredaran rokok ilegal di Indonesia tidak signifikan, ada yang menyatakam dua persen, empat persen, sekitar 17 persen," papar Danis.
Survei Indodata ini dilakukan selama periode 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi yang ada di Indonesia dengan jumlah responden sebanyak 2.500 orang.
Metode yang digunakan kombinasi yaitu survei di lapangan untuk mengetahui opini publik, menghitung perilaku masyarakat dari konsumsi merokok, lalu menghitung produksi rokok.
Baca Juga: Baznas Jateng Bantu Alat Dakwah Virtual
Secara demografi, hasil survei Indodata menunjukkan kebanyakan perokok adalah laki-laki berusia 15-50 tahun, sudah menikah, rata-rata berpendidikan SMA, wirausaha, pegawai swasta, hingga mahasiswa.
Para perokok rata-rata memiliki pendapatan sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta, kemudian level Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta, yang tidak berpendapatan ikut merokok yaitu 23, 24 persen, dan kebanyakan menetap di area nonpesisir.
"Kenaikan harga rokok mempengaruhi perilaku perokok, tapi tidak berhenti merokok yang terjadi melakulan perubahan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengonsumsi rokok ilegal," urai Danis lebih lanjut.
Sementara, Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo menyebut lebih dari 300 regulasi di berbagai tingkatan dan dikeluarkan oleh berbagai instansi pemerintah untuk mengatur Industri Hasil Tembakau (IHT).
Baca Juga: Wakil Presiden RI Akan Buka Gelaran AICIS Ke-20 di UIN Surakarta
Artikel Terkait
Bupati Tiwi Ajak Gempur Rokok Ilegal, Ingatkan Tembakau Purbalingga Pernah Berjaya
Surati Bloomberg Philanthropies, Anies Baswedan Bikin Jakarta 100 Persen Bebas Iklan Rokok
Masyarakat Diminta Jeli Bedakan Rokok Legal dengan Ilegal, Ada Ciri-ciri untuk Acuan
Tarif Cukai Rokok Tiap Tahun Naik, Angka Prevelansi Perokok Tak Menurun Signifikan
Marak Peredaran Rokok Ilegal, Disporapar: Negara Kehilangan Pendapatan Barang Kena Cukai