Lagu Melow, Selera Masyarakat Indonesia

- Sabtu, 3 Oktober 2020 | 12:00 WIB
Lagu Melow, Selera Masyarakat Indonesia (istimewa)
Lagu Melow, Selera Masyarakat Indonesia (istimewa)

LAGU-lagu kalem atau melow, itulah selera masyarakat Indonesia. Siapapun musisi atau penyanyi yang menghasilkan rekaman berisi lagu-lagu melow, sudah pasti akan dicintai dan diburu para penikmat musik di Indonesia.

Kegemaran masyarakat kita yang pada lagu-lagu melow, bisa jadi didasari oleh adat budaya masyarakat kita yang kurang begitu menyukai lagu-lagu bertempo cepat, karena dianggap tidak sesuai budaya masyarakat kita sendiri yang cenderung kalem dan santun. Lagu-lagu bertempo cepat umumnya banyak ditemui pada lagu-lagu rock.

Budaya membiasakan mendengarkan lagu-lagu bertempo lambat sudah tertanam sejak dulu dalam masyarakat kita. Biasanya kalangan orang tua akan marah jika ada anaknya memutar lagu-lagu bertempo cepat dan biasanya dicap lagu rock yang notabene budaya barat. Orang tua akan menganjurkan pada anak-anaknya untuk mendengarkan lagu-lagu bertempo lambat.

Akan tetapi imbauan orang tua itu meski dipatuhi, adakalanya tetap dilanggar pula. Imbauan yang dipatuhi tadi selanjutnya membudaya dalam karakter masyarakat kita bahwa mendengarkan lagu-lagu bertempo cepat apalagi dengan suara keras itu adalah tabu atau tidak sopan, sekaligus merusak budaya kita. Sehingga ketika ada penyanyi atau musisi menghasilkan lagu-lagu bertempo lambat, melodinya kuat (menarik dan mudah diingat), liriknya cinta mewakili pendengarnya, maka saat itu pula lagu-lagu melow jadi pujaan masyarakat kita.

Kegemaran masyarakat Indonesia pada lagu-lagu melow atau kalem kemudian menjadi semacam pasar yang cukup besar di dunia musik. Sejumlah label-label musik di Indonesia kemudian banyak menghasilkan rekaman lagu-lagu kalem dengan mayoritas menampilkan penyanyi wanita berparas cantik. Sebut saja ada Lolypop dan JK Record yang di tahun 70-an dan 80-an cukup merajai sebagai penghasil penyanyi dengan lagu-lagu kalem.

Walau pada akhirnya imej lagu-lagu kalem disukai masyarakat tidak selamanya bertahan. Masyarakat kemudian semakin cerdas dan punya pilihan berdasarkan selera. Di akhir 70-an dan awal 80-an muncul genre pop kreatif yang menawarkan lagu-lagu kalem pun up tempo tetapi bisa diterima masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah atas. Di zona ini muncul penyanyi/musisi pendatang baru macam Vina Panduwinata, Fariz RM, Chrisye, Tika Bisono, dan lain-lain.

Lagu Barat

Lantas bagaimana dengan lagu-lagu barat? Kasusnya juga sama. Semenjak lagu-lagu barat mulai merasuki budaya masyarakat kita di awal rezim orde baru, lagu-lagu kalem milik The Holies, BeeGees, Andy Wiliams, Clif Richard, jauh lebih cepat diterima ketimbang lagu-lagu rock n roll yang diusung The Beatles atau The Rolling Stones. Untuk The Beatles dan The Rolling Stones, masyarakat juga punya pilihan terhadap lagu-lagu kalem yang mereka bawakan sebagai evergreen song di Indonesia. Sebut saja "Yesterday" atau "Hey Jude" dari The Beatles, juga "Angie" dan "As Tears Go By" nya The Rolling Stones.

Begitu pula ketika sejumlah penyanyi/musisi manca kurang dikenal di Indonesia mulai hadir dengan lagu-lagu kalemnya. Bisa diambil contoh: Arjan Bras yang cuma dikenal dengan lagu "Leonie" (1976), atau Lucifer dari Belanda yang cuma dikenal dengan lagu "House for Sale", juga Smokie dari Inggris yang cuma dikenal "What Can I Do", padahal di negara asalnya lagu tersebut justru tidak dijagokan.

Kasus yang sama juga menimpa grup Scorpions yang baru dikenal di Indonesia lewat lagu "Always Somewhere" dari album Lovedrive (1979). Padahal band asal Jerman yang dibentuk tahun 1965 ini sebelumnya sudah menghasilkan cukup banyak album. Namun masyarakat kita baru bisa menerima lagu-lagu band berlogo kalajengking ini sejak lagu "Always Somewhere" menjadi hits. Selanjutnya, justru lebih banyak lagu-lagu kalem dari Scorpions yang jadi pilihan favorit masyarakat kita.

Tidak heran jika kemudian di Indonesia muncul kaset khusus lagu-lagu kalem dari grup/penyanyi manca. Sebut saja ada Scorpions Slow, The Rolling Stones Love Songs, dan lain-lain. Pihak label produsen kaset manca di Indonesia saat itu mencoba manakar pasar, siapa tahu kaset-kaset edisi lagu-lagu kalem bisa merebut hati penikmat musik manca di Indonesia. Strategi itu dianggap berhasil. Kaset-kaset edisi khusus lagu-lagu kalem lebih laris ketimbang album-album khusus penyanyi/musisi.

Hingga kini selera masyarakat kita tetap tidak berubah. Ketika zaman telah berubah dengan kemajuannya, di mana mendengarkan musik tidak harus membeli dan memutar rekaman musik fisik macam kaset, compact disc, tetapi lewat aplikasi musik di smart phone, lagu-lagu kalem masih jadi pilihan masyarakat kita. Intinya, lagu-lagu kalem di Indonesia nggak ada matinya.

Nugroho Wahyu Utomo, penulis masalah musik, editor suaramerdeka.com

Editor: Nugroho

Tags

Terkini

X