Jateng Optimistis: Menafsir Kata Data tentang Perkiraan Resesi

- Rabu, 14 Desember 2022 | 07:10 WIB
FX Sugiyanto, Guru Besar FEB Undip, Ketua Laboratorium Studi Ekonomi Pancasila. (SM/dok)
FX Sugiyanto, Guru Besar FEB Undip, Ketua Laboratorium Studi Ekonomi Pancasila. (SM/dok)

Oleh FX Sugiyanto

SEMARANG, suaramerdeka.com - Mengapa pemerintah justru seolah menakutinakuti dengan menyampaikan ancaman akan datangnya resesi pada 2023? Pertanyaan itu beberapa kali terlontar dalam banyak kesempatan perbincangan tentang perkiraan resesi di berbagai forum yang saya ikuti. Menanggapi pertanyaan tersebut, saya mencoba menjelaskan begini. Tampaknya, pemerintah ingin masyarakat lebih peduli dan waspada akan kemungkinan krisis tersebut.

Bagaimana fakta dan fenomena saat ini bicara tentang ancaman resesi tersebut? Bermula dari dampak perang Rusia-Ukraina, saat ini dunia memang menghadapi fakta dan sekaligus ancaman inflasi tinggi. Amerika Serikat sebagai salah satu ekonomi terbesar dunia, walau inflasinya sudah mulai menurun, bulan Juni 2022 mengalami inflasi 9,1%, tertinggi sejak tahun 1981. Uni Eropa, juga menghadapi inflasi sebesar 10,7% pada Oktober 2022. Bahkan beberapa negara mengalami inflasi yang sangat tinggi.

Argentina mencapai 82,3%, Turki 70,45%. Beruntung, Indonesia hingga November ini ”hanya” 5,42%. Survei Ipsos juga menemukan, perbincangan tentang inflasi menempati urutan tertinggi (32%) masyarakat global, mengatasi isu kemiskinan sebesar 31%. Situasi ini yang melatarbelakangi masyarakat dunia saat ini merasa ada ancaman akan datangnya resesi pada tahun 2023.

Baca Juga: Hanya dengan Antena UHF, Bisa Tangkap Sinyal TV Digital Sampai 50 Channel dengan Jarak Puluhan Kilometer

Inflasi yang dipicu oleh gangguan rantai pasok akibat perang telah menjalar jauh menyebabkan naiknya biaya hidup karena naiknya harga energi dan pangan. Inflasi juga telah memerosotkan daya beli masyarakat, khususnya yang bergantung pada impor pangan dan energi dari Rusia dan Ukraina.

Merosotnya daya beli inilah yang akan memicu lebih jauh menurunnya permintaan akan barang dan jasa global. Kondisi ini tentu cukup memberi alasan untuk khawatir, ekonomi dunia yang baru mulai bangkit akan tereperosok melesu lagi. Bagaimana kita mesti menanggapi kemungkinan resesi tersebut?

Optimistis Tetap Waspada Bagi kita, ada cukup alasan untuk tidak harus terlalu khawatir mengahadapi situasi tersebut. Selain inflasi yang relatif rendah dibanding banyak negara lain, beberapa lembaga international memproyeksikan Indonesia masih tetap akan dapat bertahan. Tentu, hal ini pun tetap ada catatan.

Baca Juga: Serius Amanda Manopo Mualaf? Berikut Fakta Mengenai Biodata Amanda Manopo

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan Indonesia masih akan tumbuh 5,3% pada 2022 dan 5,0% pada 2023. Selain Indonesia, beberapa negara Asia Tenggara juga masih akan tumbuh relatif tinggi. Vietnam diperkirakan tumbuh 7,0% pada 2022 dan 6,2% pada tahun 2023.

Filipina diperkirakan tumbuh 6,5% pada tahun 2022 dan 5,0% pada tahun 2023. Malaysia diperkirakan tumbuh 5,4% pada tahun 2022 dan 4,4% pada tahun 2023. Thailand diperkirakan tumbuh 2,8% pada tahun 2022 dan 3,7% pada tahun 2023. Negara Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan Indonesia akan tumbuh 5,3% pada tahun 2022 dan 4,7% pada tahun 2023.

Bloomberg memperkirakan posisi Indonesia pada urutan rendah sebagai negara yang akan terdampak resesi. Di Asia Pasifik, Srilangka menjadi negara yang paling rawan terdampak resesi, kemudian Selandia Baru, Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok. Indonesia pada urutan ketiga teraman, dan India di urutan pertama.

Baca Juga: Asik! Kominfo Bagi-bagi Set Top Box Gratis, Cuma Ketik NIK di Web ini, STB Akan Segera Diantar Kerumahmu

Artinya, Indonesia bukan pada posisi aman sama sekali dari ancaman krisis, tetapi tergolong yang relatif aman. Bagaimana masyarakat menanggapi isu ancaman resesi ini? Secara umum, publik Indonesia sangat optimistis.

Survei yang dilakukan oleh Data Continuum Indonesia menunjukkan optimisme publik menghadapi ancaman resesi tersebut dan menganggap isu resesi sebagai penyebar ketakutan sehingga berita itu tidak disukai. Kelompok ini merupakan yang tertinggi (19,62%) dan publik yang menyakini RI akan aman dari resesi 13,9%.

Halaman:

Editor: Imron Rosadi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X