Simalakama Petani Tembakau Rembang: Dulu Diminta Tanam, Kini Dibantarkan

- Kamis, 29 Juli 2021 | 10:12 WIB
Tembakau di Desa Babagan, Lasem, Rembang yang siap panen. (suaramerdeka.com / Maratun Nashihah)
Tembakau di Desa Babagan, Lasem, Rembang yang siap panen. (suaramerdeka.com / Maratun Nashihah)

Namun lebih karena lahan yang digunakan untuk menanam dinyatakan oleh perusahaan mitra tak laik untuk tanam.

''Katanya lahan kami mengandung terlalu banyak garam sehingga kualitas tembakau yang dihasilkan tidak bagus. Padahal kami sudah bermitra selama enam tahun.''

Nasib nelangsa juga dialami oleh Hendro Tanoko yang pernah menanam tembakau sepanjang tahun 2012 hingga 2017. Dia mengaku sempat rugi hingga 400 juta dalam dua kali musim tanam pada 2016 dan 2017.

''Saat itu saya menyewa lahan di Desa Sumbergirang dan Warugunung, masing-masing tiga hektare. Teknis penanaman saya serahkan pada orang yang ahli. Dari mitra juga ada pendampingan tenaga penyuluh lapangan atau PPL."

"Awalnya hasilnya bagus, sesuai arahan PPL. Namun memang menanam tembakau itu harus bisa mengikuti perkembangan cuaca. Sayangnya pas jelang panen, hujan turun selama seminggu penuh. Daun tembakau hancur,'' kisahnya.

Namun manajer salah satu bank di Lasem itu menyatakan, tidak hanya faktor alam yang membuat dirinya merugi. Permainan grade  dalam tata niaga tembakau diakuinya juga menjadi penyebab yang cukup dominan.

''Saat setor tembakau itu bak saat ujian skripsi. Saat tembakau sudah di-packing, di gudang akan disortir. Grader membawa bendera tiga jenis, hijau kuning dan merah. Itu untuk menentukan kualitas atau grade."

"Harga diberi sesuai dengan grade itu, yaitu F, P, dan S. Masing-masing ada kualfiaksi 1,2,3. Selisih harga per grade bisa 5-7 ribu. Kalau hasil buruk, tembakau tidak diterima. Grader  yang akan menentukan. Petani tidak tahu pasti bagaimana cara penentuannya,'' katanya panjang lebar.  

Dalam perkembangannya, lanjut Hendro, perusahaan mitra juga mengganti jenis bibit tembakau yang ditanam.

''Saya menduga stok tembakau jenis yang lama telah banyak di gudang. Ini permainan saja sebetulnya.''

Penggantian bibit, imbuhnya, membuat petani harus menyesuaikan diri lagi. Di sisi lain, beberapa wilayah juga tidak boleh ditanami lagi.

''Saya rasa ini cuma akal-akalan perusahaan mitra karena istilahnya emas sudah terambil.''

Kendati demikian, tanaman tembakau diakui Hendro masih menjadi komoditas yang paling menjanjikan untuk ditanam di Rembang yang notabene miskin hujan.

Hal itu diamini oleh Suhartono, petani tembakau asal Desa Selopuro, Lasem yang hingga kini masih bertahan menanam tembakau.

''Untuk tembakau, modal untuk tanam 1 hektare 35 juta. Bisa balik modal minimal 50 juta. Itu kalau kualitas tembakau kita biasa. Kalau bagus bisa sampai 100 juta. Tapi kalau rugi ya bisa banyak. Tahun kemarin saya rugi 60 juta,'' katanya.

Halaman:

Editor: Andika Primasiwi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X