Meski memberi harga tinggi pada singkong petani, Maria mengaku masih mendapat keuntungan hingga 30 persen dari memproduksi tiwul instan. Ia pun memisalkan 25 kilogram singkong diolah hingga kering, bisa menjadi 11 kilogram tiwul instan. Maria mengatakan, awal mula ia terjun memproduksi tiwul instan setelah belajar membuat leye dari tetangga.
“Tahun 2008, saya produksi aneka camilan dari pisang dan gadung, sampai bertruk-truk. Tapi hanya bertahan sampai 2010. Setelah produksi tiwul, produk yang lain berhenti, karena proses pembuatan lama dan bahan baku singkong terserap semua ke tiwul instan.”
Maria bersama sang suami, Stefi Yean Marie (44) tertarik menginovasi leye menjadi tiwul instan aneka rasa, agar anak muda di luar Desa Lipursari juga menggemari makanan lokal yang sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang itu. Meski saat itu sudah banyak yang menjual tiwul instan, namun belum ada yang berinovasi dengan varian rasa.
Baca Juga: Seo Ye Ji Comeback dari Hiatus 7 Bulan, Siap Bintangi 'Eve's Scandal'
Maria mendengar istilah tiwul digunakan masyarakat setempat untuk menyebut leye yang ditambahi rasa gula Jawa. Selain itu, tekstur butiran tiwul lebih lembut dibanding leye. Mulailah dia mengujicoba tiwul dengan rasa yang berbeda dan tentu dengan warna yang menarik.
Rasa pertama yang diujicoba yaitu pandan, karena tanaman pandan melimpah dan mudah dibudidayakan. Hasil ujicoba tiwul rasa pandan rasanya enak, namun masih kasar dan tidak tahan lama. Kembali diuji coba. Bahan baku singkong dibuat jadi tepung mocaf lalu ditambahi ubi atau tela. Ternyata tepat dan menemukan tiwul menjadi lembut serta dapat tahan lama.

“Eksperimen tiwul instan bisa tahan lama butuh waktu dua tahun. Kini daya simpan tiwul instan bisa bertahan hingga satu tahun.”
Cara pengolahan pun terus ditingkatkan, dan sebagian memanfaatkan mesin untuk mempercepat proses produksi. Sedikitnya ada 14 varian rasa tiwul instan yang diproduksi, Mulai dari rasa original, ubi ungu, daun kelor, gula aren, pandan, kacang merah, aneka buah-buahan seperti durian, strawberi, hingga tiwul instan rendah glikemik untuk penderita diabetes atau mereka yang menghindari nasi. Menariknya gagasan varian rasa itu muncul dari tawaran tetangga yang menawarkan hasil kebun. Menurutnya, memerlukan waktu hingga lima tahun, tiwul instan bisa dikenal luas dan diterima pasar lokal.
“Malah ada yang komentar jual tiwul (harganya) seperti jual emas,” imbuh pendiri rumah baca "Istana Rumbia" itu.
Baca Juga: Bisnis Raup Keuntungan Fantastis, Nagita Malah Takut, Kenapa Ya?
Maria mengaku tiwul instan populer setelah dirinya mendapat penghargaan IKM Award pada 2014. Pada tahun yang sama, pesanan datang setiap tiga bulan sekali dari rekan sesama buruh migran di Hongkong. Tahun berikutnya, pesanan tiwul instan datang sebulan sekali dari rekan buruh migran di Malaysia. Bahkan jumlah pesanannya sampai kuintal.
Selain itu, sebelum pandemi Covid-19, ada orang dari Jakarta yang pesan 4 kuintal tiwul instan dua kali seminggu, untuk dikirim ke Abu Dhabi. Tiwul yang semula dianggap sebagai makanan desa itu telah disandingkan bersama dengan makanan lain dan mudah dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan di kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Magelang dan Solo.
“Kami juga jual tiwul instan ini di stan Bandara Soekarno Hatta, dan tinggi peminatnya. Berapa pun yang dikirim selalu habis.”
Kini, ia dan suami memiliki obsesi memproduksi tiwul instan dalam kemasan sachet. Selain bisa dijual di warung-warung, tiwul instan bisa dikonsumsi oleh anak-anak dimana pun mereka berada. Apalagi tiwul memiliki aneka kandungan gizi. Antara lain karbohidrat 71,8 persen, gula 13,7 persen, protein 2,4 persen, lemak 0,49 persen serta kadar air 8,7 persen, sehingga tiwul pun bisa menjadi makanan pengganti atau selingan makanan pokok (nasi).
Artikel Terkait
Leye dan Generasi Ketiga di Lipursari : Dulu Identik Makanan Jelata, Kini Lebih Mahal dari Beras (1)