Leye dan Generasi Ketiga di Lipursari : Dulu Identik Makanan Jelata, Kini Lebih Mahal dari Beras (1)

- Sabtu, 20 November 2021 | 19:00 WIB
MENGUKUS LEYE: Fitriyah (40), warga Dusun Pasunten Desa Lipursari Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah mengukus leye sebelum disajikan bersama lauk dan sayur. (suaramerdeka.com/Hartatik)
MENGUKUS LEYE: Fitriyah (40), warga Dusun Pasunten Desa Lipursari Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah mengukus leye sebelum disajikan bersama lauk dan sayur. (suaramerdeka.com/Hartatik)

WONOSOBO, suaramerdeka.com - Dapur berdinding papan di rumah Fitriyah (40), di Dusun Pasunten Desa Lipursari Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah terdengar riuh, petang itu. Ibu dua anak ini sedang memasak leye atau nasi dari singkong. Setelah hanya 30 menit mengukus, leye matang dan siap disajikan.

Seketika aroma singkong rebus menyeruak dan menyebar ke seluruh dapur begitu Fitriyah membuka tutup panci kukusan. Dapurnya kecil dan sederhana, tetapi tidak seperti biasanya untuk wilayah tersebut, hanya berukuran 2,5 x 4 meter.

Sementara itu, di sudut lain dapur, sayuran daun singkong dan ikan peda baru saja ditiriskan dari wajan, dan siap disantap sebagai lauk, menemani sepiring leye. Rasa leye kukus yang hambar tertutupi ikan peda yang gurih dan asin.

Baca Juga: 11 Camilan Sehat Ini Pulihkan Tubuh Setelah Olahraga

Setiap hari, Fitriyah memasak satu kilogram leye untuk dikonsumsi enam orang yakni suaminya, dua anaknya, ibu dan ayahnya, dan dirinya sendiri. Keluarga Fitriyah sudah puluhan tahun mengonsumsinya. Bahkan anak bungsunya, Zafa (8) terlihat lahap menikmati sepiring leye dengan bakmi goreng.

“Sejak anak-anak masih kecil, saya memasak leye setiap hari. Sejauh ini mereka tidak menolak. Leye sudah seperti nasi, bahkan dikonsumsi oleh orang tua dan nenek kita sejak kecil,” katanya.

Di Desa Lipursari, leye telah menjadi pengganti nasi secara turun temurun. Singkong, yang merupakan bahan baku leye, berlimpah di sekitar desa yang terletak 500 meter di atas permukaan laut ini.

Setelah ditanam sekitar sembilan bulan, suaminya, Mukmin (55), bisa dengan mudah memanen singkong berton-ton. Padi, sebaliknya, hanya bisa dipanen setahun sekali, karena sawah mereka bergantung pada hujan untuk irigasi.

Baca Juga: Comeback, Kim Seon Ho Akan Hadir di Pembacaan Naskah Film Sad Tropical, Bulan Desember

Menurut Fitriyah, proses pembuatan leye tentu tidak mudah. Kurang lebih 5-7 hari, bergantung panas matahari. Singkong perlu dibersihkan, dikupas dan dipotong kecil-kecil, kemudian direndam selama dua malam berturut-turut, untuk menghilangkan kandungan racun sianida. Kemudian dijemur di bawah sinar matahari, suatu proses yang menghasilkan apa yang biasa disebut “gaplek”.

“Gaplek yang sudah kering lalu diselep (digiling) kasar. Kalau mau dimakan, tinggal dikukus saja seperti nasi,” imbuhnya.

Selagi menunggu leye siap, Fitriyah sekeluarga mengonsumsi nasi. Terkadang beras berasal dari sawah mereka, tetapi lebih sering harus beli. Dia biasanya memasak leye dua kali setiap minggu.

Selain membuat singkong untuk leye, petani singkong menjualnya sebagai bahan baku tiwul instan. Tiwul juga makanan pokok pengganti nasi yang terbuat dari singkong.

Tiwul digunakan sebagai pengganti beras ketika harga beras tidak terbeli oleh masyarakat pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1960-an. Berbeda dengan leye, butiran tiwul lebih halus. Dan kini banyak dijual dalam kemasan instan dengan berbagai rasa.

Halaman:

Editor: Edyna Ratna Nurmaya

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X