REMBANG, suaramerdeka.com – Rembang berduka. Di tengah terjadinya wabah corona dan momen Ramadhan, sebuah lokasi tambang tras di Desa Blimbing Kecamatan Sluke, longsor pada Rabu 6 Mei 2020. Mirisnya, tambang yang disinyalir sudah cukup lama beroperasi itu oleh Dinas ESDM Jateng dipastikan ilegal alias tanpa izin.
Tragedi itu sungguh memilukan. Sebanyak 6 truk yang sedang antre memuat pasir tertimbun. Parahnya, beberapa sopir juga ikut terkubur material. Dua di antaranya ditemukan tewas. Sedangkan satu orang dirawat di rumah sakit.
Berdasarkan data kepolisian, lokasi tambang di Sluke merupakan milik PT AHK. Dua korban tewas adalah Solikin (30), truk warga Desa Sendangmulyo Sluke, dan Muhammad Abram (28), warga Desa Sidomulyo Kecamatan Gunem.
Tragedi tambang ilegal yang memakan korban jiwa di Rembang bukan kali ini saja terjadi. Jauh sebelumnya, sebuah bekas tambang ilegal di Kecamatan Sedan yang tidak direklamasi menenggelamkan seorang bocah.
Kondisi tersebut, sudah cukup menjadi bukti pemerintah lemah dalam mengontrol keberadaan tambang ilegal. Jika tidak, tentu aktivitas mereka bisa segera ditanggulangi. Setidaknya, ditutup atau diminta urus izin sehingga melaksanakan penambangan sesuai prosedur.
Satpol PP Kabupaten Rembang melalui Kabid Ketentraman Masyarakat Teguh Maryadi mengaku baru tahu soal kondisi tambang tersebut dari media. Selama ini, sebagai penegak Perda, Satpol PP tidak pernah razia di sana.
Di sisi lainnya, Pemkab Rembang tetap memungut dan menikmati pajak dari pelaku tambang ilegal. Penarikan dilakukan oleh Bidang Pendapatan Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD), yang dikepalai Romli.
Total ada 65 pelaku tambang (ada sebagian yang ilegal) menjadi obyek sasaran pajak. Ada dua hal yang terjadi dari situasi tersebut, “tambang ilegal dilarang”, dan “tambang ilegal dipungut pajak”.
“Tambang (sejak kapan beroperasi) itu ranahnya provinsi. BPPKAD hanya terkait pungutan pajak daerah. Betul (tambang longsor Sluke termasuk 65 wajib pajak),” papar Romli kepada Suara Merdeka.
Selama ini, ada kesan antara Satpol PP sebagai penegak Perda dan BPPKAD sebagai pemungut pajak kurang koordinatif. Tolak ukurnya, Satpol tidak mengetahui daftar tambang ilegal yang databasenya ada di obyek penarikan pajak BPPKAD. Kontrol pemerintah lemah? Tentu publik bisa menilai.
Kepala Balai ESDM Wilayah Kendeng Selatan, Budi Setiawan menyebut, meski domain perizinan tambang banyak berada di provinsi, kabupaten tetap memiliki kewenangan pengawasan.
Selain melalui Aparat Penegah Hukum (APH), hal itu juga bisa dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Institusi ini berperan pengawas terkait daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.
Belasan Tambang Ilegal
Budi menyebut, ada belasan tambang ilegal yang beroperasi di Blora, Rembang dan Grobogan. Beberapa di antaranya berada di Rembang. Salah satu tambang ilegal adalah yang baru saja longsor di Desa Blimbing Sluke