Dikerubut penonton yang datang secara dadakan dan berganti-ganti mengajaknya mengobrol, jadwal Adjeng tapa pepe dengan gayanya sendiri, menjadi molor.
Sesuai yang diagendakan sebelumnya, seharusnya dia sudah meninggalkan Aloen-aloen pada pukul 12.00, lalu kembali ke rumah dinas Chaterine untuk berkemas-kemas dan selanjutnya ke stasiun. Sehingga ia bisa naik kereta jurusan Semarang yang berangkat pada pukul 13.00, dan seterusnya bisa menyambung kereta terakhir tujuan Soerakarta.
Namun, karena para penonton semakin bersemangat mengajak mengobrol dan Adjeng merasa asyik mendapat respons di luar dugaan, dia baru bisa meninggalkan Aloen-aloen pada pukul 13.00. Karenanya, sudah pasti, Adjeng hanya bisa beroleh kereta terakhir dengan jadwal keberangkatan pukul 14.10.
Ditemani Chaterine yang, menyaksikan Adjeng menari sedari awal dalam aksi tapa pepe, tandak tersebut sampai di stasiun pukul 13.45. Kursi nomor 9 pada kereta kelas satu, tertera pada karcis yang dibeli Adjeng dari loket penjualan tiket. Semua staf di kantor stasiun berebut mengucapkan selamat dan menyalami Adjeng, tak ketinggalan pula masinis kereta yang telah beberapa menit menunggu di jalurnya.
Adjeng dan Chaterine berpelukan cukup lama, saling menempelkan pipi kanan dan kiri. Sama-sama berat untuk berpisah, hingga Chaterine mengantar Adjeng sampai di atas kereta dan mendapati tempat duduk. Bertemu dan berpisah adalah keniscayaan yang pasti akan menghampiri manusia mana pun.
‘’Keputusan tapa pepe dengan konser rakyat yang telah kamu realisasikan, saya kira, sebagai langkah yang tepat dalam menuntut kepastian. Kamu telah menagih dengan caramu sendiri, setelah cara-cara mencari kepastian dalam ketidakpastian yang selama ini membelenggumu secara normatif, selalu menabrak pada tembok bisu.’’
Adjeng hanya tersenyum mendengar bisikan yang disampaikan oleh sahabat Belanda-nya pada telinga kanan. Chaterine pun harus megendorkan pelukannya pada Adjeng, dan turun dari kereta. Karena peluit panjang melengking berbunyi, membimbing roda-roda besi kereta bergerak sesuai yang dijanjikan pada relnya.
Roda kereta pun semakin cepat berputar pada sumbunya masing-masing.Membawa Adjeng meninggalkan semakin jauh orang terakhir yang ditemuinya di Koedoes. Kenangan indah bersama Chaterine yang makin jauh mengantar perjalanan setia kereta, tetap saja merayap pada relnya. Meninggalkan Aloen-aloen Koedoes yang beberapa jam tadi ramah menyambutnya, ketika dia menumpahkan seluruh perasaan yang bertahun-tahun dipendam dalam-dalam.
Adjeng tak peduli sama sekali, apakah ada sesuatu yang terjadi setelah ia melakukan tapa pepe. Memikirkan hal-hal di luar kemampuan serta bukan urusannya, bagi Adjeng, sama halnya membuang-buang energi. Dia lebih tertarik menikmati panorama di sepanjang perjalanan yang dilalui. Pada kereta terakhir hari ini, yang akan berpapasan kereta terakhir dari Semarang dan hendak menuju Koedoes, di Stasiun Demak.