Dua cangkir kopi panas dan pisang goreng beroles keju disajikan oleh Chaterine van Mooy di beranda rumah dinas, selepas magrib. Adjeng Taroe Resmi memang ingin menikmati malam di teras yang menghadap ke Jalan Landraad.
Dua perempuan bertemu dalam gelombang hati yang sama, menyuburkan pembicaraan dan mudah berbiak ke mana-mana.
''Adjeng, kamu adalah perempuan pertama di Hindia Belanda yang aku kenal. Dari kamu, aku belajar memahami budaya perempuan Jawa.''
''Saya juga bagaikan sedang mengunjungi negeri mendiang Rama saya. Dari kamu, saya bisa mengerti bagaimana kebudayaan di Negeri Belanda.''
Chaterine selama ini hanya mendengar cerita jika perempuan Hindia Belanda, khususnya Jawa, diposisikan sebagai subordinat laki-laki. Ia seperti tidak percaya, bagaimana hanya karena gender, membuat adanya jurang pemisah yang amat lebar dan dalam, antara lelaki dan perempuan.
''Lelaki secara mutlak menjadi patron perempuan, ini aneh bagiku. Mengapa laki-laki tidak boleh tidak harus selalu diikuti oleh perempuan, bagaimana kalau ternyata sikap atau tindakan lelaki tersebut tidak benar?''
''Benar Chaterine. Istri adalah kanca wingking, hanya berwenang mengurusi dapur, mengandung, memandikan, dan menyuapi anak. Di luar itu, harus mengikuti kemauan suami.''
''Bagiku itu sikap otoriter. Hegemoni laki-laki. Mestinya saling menghormati atau menghargai. Kasihan perempuan Jawa. Terjajah.''
''Bagaimana menurut kamu, apakah perempuan Jawa yang kebetulan menjadi istri kedua atau ketiga jauh lebih berat posisinya terhadap suami?''
''Aku rasa, kalau soal itu, masalah pilihan. Mengapa dia mau, ini wilayah yang sangat pribadi. Saya pikir, istri kedua atau ketiga, tidak selalu mendapat perhatian dalam kesempatan pertama setelah istri pertama. Juga istri pertama tidak pasti beroleh perlakuan utama.''
''Lalu, menurut pandangan Chaterine, harus bersikap bagaimana seorang istri kedua atau ketiga ketika dikecewakan oleh suami?''
''Istri pertama, istri kedua, atau istri ketiga, bagiku sama saja.''
''Sama saja bagaimana, yang kamu maksudkan?''
''Artinya, kalau memang suami sengaja menghindar atau tidak menepati janji, sebaiknya istri menuntut haknya.''
Mata Adjeng nanar mendengar penjelasan yang disampaikan Chaterine. Ia berpikir, berarti tidak terlalu salah, jika ia, berniat hendak menuntut ketegasan sikap Boepati Koedoes Raden Mas Adipati Ario Soerio Poesponegoro atas janjinya. Bangsawan yang telah mengikat dia sebagai garwo ampil pada lima tahun lalu.