Binatang yang paling liar di Gunung Kemukus, pun menghentikan langkah dan beberapa saat diam, saat mendengar suara hati tandak itu. Burung hantu yang biasanya enteng berteriak mengawal gelap malam, juga harus rela membisu sesaat.
Tak hanya menutup mulutnya. Semua hewan lalu juga berebut mencari tempat untuk berlindung. Dan, dalam beberapa detik setelahnya, angin sangat kencang bertiup dan memusar dari arah barat mengarah ke Adjeng Taroe Resmi, yang tetap duduk sempurna di bawah pohon besar.
‘’Ada apa? Kenapa Den Ayu bersedih lagi, dan datang kembali ke sini? Bukankah Den Ayu sudah kaya, menggenggam banyak uang? Apa lagi yang Den Ayu inginkan?’’
Sesosok raksasa tak kasat mata tersebut berdiri di depan Adjeng, sepertinya duduk di batuan yang terdapat di hadapan Adjeng. Malam yang pekat semakin menyamarkan ujud sosok itu, hanya bisa terlihat layaknya siluet oleh Adjeng.
‘’Saya tak hendak mencari uang, pangkat, atau derajad. Saya juga tidak menyesali apa yang telah berlalu. Saya hanya ingin mendapatkan kepastian, memeroleh keadilan dari ndara bupati Koedoes. Karena itulah saya datang ke sini, dan meminta bantuan.’’
‘’Itu perkara gampang. Aku siap membantu sepenuh yang Den Ayu inginkan. Aku akan memenuhi permintaan Den Ayu. Sadar atau tidak sadar, saat Den Ayu mengucapkan sesuatu dengan seluruh kesadaran dan kekuatan jiwa kepada ndara bupati, itulah sesungguh-sungguhnya permintaan Den Ayu kepadaku. Aku bersumpah akan memenuhi permintaan itu.’’
Adjeng kalah cepat. Belum sampai dia bertanya lagi, sosok tersebut telah lenyap dari pandangan, berbareng angin kembali bertiup kencang. Membawa terbang semerbak wangi asap kemenyan serta kembang setaman, menyeruak ke mana-mana.