Masih 21 September 1879. Jam baru menunjukkan pukul 20.00, tetapi Adjeng Taroe Resmi tak hanya sudah selesai mandi, juga telah rampung berdandan. Berungkali berdiri di depan cermin, seperti biasa dilakukan seusai berhias diri. Meski tak hendak keluar dari paviliun untuk menghirup udara malam di Aloen-aloen.
Dipersiapkannya dua botol sampanye di atas meja kamar. Dua gelas sloki melengkapi. Tak lupa candu dalam wadah kayu sekepalan tangan, berikut tempayan dan satu pipa isap.
Malam itu Adjeng tengah menunggu kedatangan suami. Raden Toemenggoeng Ario Soerio Poesponegoro yang siang tadi telah mendeklarasi, disaksikan penjabat Belanda yang bertugas di Prawoto serta tokoh pengikut ajaran Samin di Jongso, Desa Karangrowo serta Desa Larikrejo, tandak asal Soerakarta itu adalah istrinya. Di kompleks pendapa Kaboepaten Koedoes, hari ini Adjeng satu-satunya istri.
''Silakan masuk, Den Mas.''
Tanpa harus mengetuk pintu, ndara bupati langsung disambut oleh satu-satunya penghuni paviliun yang tak lain adalah istri selir-nya. Adjeng memang sengaja tidak menutup secara penuh pintu kamar paviliun, sehingga yang datang belum sampai menginjak teras, bisa leluasa dilihatnya kedatangan bupati.
''Den Ayu apa akan pergi keluar dari kamar? Padahal sepulang dari kita berjalan-jalan, sebelum magrib tadi, saya sudah bilang akan mengajak ngobrol.''
''Tidak!''
''Tetapi, Den Ayu kelihatannya sudah siap pergi. Berdandan lengkap seperti kalau akan keluar jalan-jalan?''
''Saya kira Den Mas keliru mengartikan. Saya berdandan untuk Den Mas, menepati janji untuk bertemu Den Mas.''
Ndara bupati tersipu-sipu. Namun ia cepat-cepat melebur gengsinya, dangan mengalihkan pembicaraan.
''Bagaimana kesan Den Ayu saat kita berjalan-jalan seharian tadi?''
''Den Mas, mari kita minum dulu, untuk mengusir dingin malam.''
Sambil tetap memang gelas sloki, Adjeng bangkit dari kursi yang terdapat di sebelah kanan meja berdaun marmer persegi delapan, dan mendekat ke ndara bupati. Duduk rapat pada sofa yang sama, yang terdapat di sebelah kiri meja, dengan bupati. Wewangian dari tubuh perempuan yang telah berumur 21 tahun itu pun semakin kuat mengusik hidung dan menerabas imajinasi ndara bupati.
''Semua tempat yang kita kunjungi tadi sangat indah, Den Mas. Saya sangat terkesan. Tetapi, rasa-rasanya, masih jauh lebih indah pada malam ini. Di kamar ini.''
''Maksud Den Ayu bagaimana?''
''Saya sangat bahagia. Karena malam ini bertemu dengan suami untuk pertama kali, di tempat yang pada tempatnya bagi suami-istri.''