‘’Mengapa mesti dirisaukan? Paling lambat, sebelum magrib kita juga sudah keluar dari perkampungan terakhir yang kita kunjungi.’’
Bupati meninggalkan Prawoto. Berjalan turun kembali. Namun, tak lama kemudian, berbelok kiri, masuk ke jalanan yang lebih sempit lagi. Ia dan Adjeng mengarah ke Dusun Wonosoco, yang situasi dan kondisinya tak beda jauh dari Prawoto. Sama-sama berkontur pegunungan dengan struktur batuan kapur.
Bupati langsung mengajak Adjeng melihat sendang yang ada di Wonosoco. Ada dua sendang di perkampungan tersebut yakni Sendang Dewot dan Sendang Gading. Dilihatnya air masih terus menyembul di dua sendang itu, meluap sehingga mencukupi untuk dialirkan ke sawah. Penduduk juga tak mengalami kesulitan beroleh air untuk minum, memasak, mencuci, serta mandi.
‘’Air di Sendang Dewot dan Sendang Gading yang kali pertama kita lihat tadi, juga berasal dari ponor.’’
‘’Kalau begitu penduduk tidak pernah susah karena kekurangan air, ya, Den Mas?’’
‘’Tidak salah. Bahkan, ketika sawah tidak lagi memerlukan, air dari kedua sendang dibuang langsung ke alur kali yang kemudian masuk ke Sungai Djoewana. Seperti sekarang, karena padi sudah masa panen sehingga nyaris tak membutuhkan air. Hanya sedikit saja, untuk menjaga agar tanah sawah tetap dalam kondisi basah. Tetapi saat sawah sedang di-bera-kan untuk persiapan tanam palawija, tidak membutuhkan air.’’ (bersambung)
Keterangan:
Bahu – ukuran luas
Bera – jeda tanam
Garwa ampil – tidak istri resmi
Ndara -- tuan