Bupati dan Adjeng hanya berlalu saja di Pasar Prawoto, lantaran belum ada pedagang yang mendasarkan dagangannya di pasar tersebut. Masih libur Lebaran rupanya, dan pasar baru akan buka kembali serta ramai setelah Lebaran hari ke tujuh berlalu. Melewati lokasi pasar, pasangan tersebut meneruskan langkah kaki ke selatan.
Adjeng semakin berani. Tangan kanan tak hanya menggamit lengan kiri ndara bupati, namun kemudian beralih semakin hangat dengan melingkarkan lengannya ke pinggang bupati. Dan, ndara bupati mereaksi dengan merangkul pundak kiri Adjeng. Mereka berdua pun beroleh suasana yang semakin romantis, tak mau kalah atas pucuk-pucuk ranting pohon jati yang tengah mengantarkan putik bunga mengenal sinar mentari, serta berpasang-pasang burung yang terlihat nangkring sedang beradu kasih.
‘’Ini adalah kolam yang dibangun pada setahun setelah gedung Kolonial yang kita kunjungi tadi selesai pembangunannya. Di sinilah penjabat Belanda dan keluarganya biasa berenang.’’
‘’Oh, kolam ini cantik sekali ndara!’’
‘’Tentu. Tetapi, sangat jauh lebih cantik istriku, yang sedang berada di sampingku.’’
‘’Ah, ndara bisa saja.’’
‘’Kenapa masih juga memanggilku dengan ndara? Bukankah Den Ayu adalah istriku?’’
Adjeng seperti tak percaya mendengar pertanyaan bernada menekan, bahwasannya dia memang telah diklaim dan ditempatkan sebagai istri oleh bupati. Namun, untuk mempertanyakan mengapa bupati semakin menandaskan dia telah menjadi garwa ampil, Adjeng melihat belum saat yang tepat.
‘’Iya, ya, Den Mas!’’
Bupati tersenyum lebar dan semakin merekatkan rangkulan tangan pada pundak Adjeng, yang sedikit lebih pendek darinya. Beberapa saat duduk berdampingan di tepian kolam dan kaki bermain air, bupati lalu mengajak Adjeng untuk melihat di mana sumber air untuk mengisi kolam itu diperoleh.
‘’Inilah yang namanya cekungan air tanah atau yang juga disebut ponor.’’
‘’Sangat deras sekali, Den Mas.’’