Bupati menarik tali kendali kiri yang mencongok mulut kuda, dan gerobak berbelok ke kiri ketika telah memasuki pertigaan jalan di Babalan. Sehingga, perjalanan yang tersisa tinggal tak seberapa lama, sebentar lagi akan sampai di Pegunungan Kapur Utara yang menjadi tujuannya.
Gerobak bergerak lebih berat, melambat saat mendapati jalanan yang semakin lama semakin menanjak tajam, pertanda tinggal beberapa langkah kaki kuda sampai di tempat pemberhentian pertama. Perjalanan tak hanya semakin berat harus dipikul oleh kuda penarik gerobak, juga menjadi tak nyaman bagi penumpangnya, karena badan jalan yang lebih jelek dari pada penggal jalan yang telah dilalui sebelumnya. Badan jalan didominasi batuan kapur yang menonjol, sehingga acapkali gerobak terguncang keras.
Apalagi selepas melintas kretek sasak yang melintang di Sungai Djoewana. Punggung pegunungan kapur pun menjadi semakin jelas, beberapa burung alap-alap berputar-putar mengepakkan sayap di langit jernih. Sepasang burung merak terbang dan hinggap dari satu pohon ke pohon lain yang menyembul paling tinggi, di puncak bukit berketinggian 350 m dpl, dengan jajaran batuan karst yang menyembul liar.
Sepertinya sedang berburu ulat yang menjadi santapan kesukaan, yang biasanya berlimpah di pucuk pepohonan.
Ceketeng pada jalan yang menanjak sangat tajam menandakan perjalanan telah masuk Prawoto, desa pertama yang dimaksudkan ndara bupati dalam kunjungan bersama Adjeng seorang. Lalu lalang orang mendominasi, menunjukkan masih suasana Lebaran, menghidupkan kampung tersebut. Serpihan kertas sisa dari ledakan mercon masih bertebaran liar di sudut kampung.
''Kita akan berhenti dan turun di sini, ndara? Atau Prawoto hanya kita lewati, dan masih harus naik lagi untuk mencapai desa lain yang kita tuju?''
''Tidak. Tujuan kita memang Prawoto.''
Gerobak berhenti persis di depan sebuah bangunan paling besar, mewah, dan kokoh di pusat desa. Seseorang pribumi berpenampilan dekil muncul dari bangunan yang lebih kecil di kiri bangunan besar itu, berlari kecil mendekati gerobak ditambatkan. Dia adalah pesuruh yang bekerja di bangunan megah itu, mengambilalih mengurus kuda dan gerobak milik bupati selama berada di situ.
Ndara bupati bergegas mengajak Adjeng memasuki bangunan yang beraura angkuh itu. Seorang Belanda muncul dari dalam ruangan, menyambut dan mempersilakan mereka berdua duduk di kursi yang tertata di sayap kanan ruang tamu. Penjabat Belanda itu adalah sekretaris di kantor yang sekaligus difungsikan sebagai rumah dinas. Dialah yang mengurus semua urusan dan keperluan dinas lima orang Belanda yang tinggal di situ, termasuk juga sebagai penerima tamu khusus untuk tamu golongan bangsawan, priyayi, maupun saudagar besar.
''Kenalkan tuan, ini istri saya. Belum pernah ke sini, sehingga saya ajak jalan-jalan ke sini.''