Minggu pagi cerah itu, 21 September 1879. Rerumputan, bebungaan, dan pepohonan yang menghias halaman Pendapa Kaboepaten Koedoes, segar bersiram embun. Langit jernih, mentari akan menyuntik energi penuh pada bumi dan seisinya sepanjang hari. Menghadirkan kehidupan sambung-menyambung seperti mata rantai yang tak terputus.
Pagi bernyanyi keceriaan seperti hendak melepas dan bersaksi atas kepergian Adjeng Taroe Resmi. Berdasarkan rencana yang disampaikan dan diputuskan oleh Raden Mas Toemenggoeng Ario Soerio Poesponegoro pada Sabtu malam kemarin, hari ini ia akan berjalan-jalan bersama bupati itu. Pelesir tanpa diikuti penjabat bawahan, termasuk kusir. Kendali kuda penarik gerobak yang akan ditumpangi dalam perjalanan ditangani oleh ndara bupati sendiri.
Sejumlah jongos menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan dalam perjalanan. Kuda penarik gerobak dipilih yang terbaik, yang selama ini telah teruji dalam soal daya jelajah maupun kecepatan. Tak beda dengan kuda cadangan, yang diikatkan di belakang gerobak. Kendaraan gerobak juga yang terbaik.
Babut produk Turki berwarna merah digelar seluas lantai gerobak. Juga makanan dan minuman serta buah-buahan yang jauh dari cukup. Tak ketinggalan dua botol sampanye dan candu yang mencukupi diisap dua orang dalam sehari. Sementara, pakan khusus untuk kuda tak ketinggalan, ndara bupati bisa meledak amarahnya hanya gara-gara pakan, kalau kemudian kuda tak mau bekerja secara maksimal.
Dua jongos melakukan pengecekan ulang atas semua pekerjaan yang telah dilakukannya, sebelum ndara bupati keluar dari rumah dinas. Dirasa tidak ada satu pun yang kelewatan, seorang pesuruh kemudian masuk ke rumah dinas untuk melapor kepada ndara bupati. Berbagi tugas, pesuruh satunya menuju ke paviliun yang terdapat di sebelah kiri depan pendapa, untuk memberitahu Adjeng.
Menuju ke gerobak yang terparkir, bupati keluar dari rumah dinas melewati tengah-tengah pendapa. Pesuruh mengikuti dari belakang, membawa tas kecil milik bupati yang terbuat dari kulit rusa. Hampir bersamaan, Adjeng muncul dari dalam kamar diikuti pesuruh yang menyamperinya.
''Maaf, wak, saya tidak bisa memberi apa-apa atas kebaikan wak. Ini ada uang tak seberapa, mungkin nanti bisa untuk wedangan sendiri dengan teman wak juga.''
''Mohon maaf Den Ayu, nanti saya bisa dimarahi ndara bupati.''
Pesuruh secara halus menolak pemberian uang, takut pada bupati. Bisa-bisa bupati memecatnya sebagai pegawai kabupaten kalau sampai ketahuan dia menerima uang dari tamu. Beberapa pegawai pada enam tahun lalu dipecat tanpa hormat gara-gara menerima uang semacam itu.
''Asal wak dan teman wak tidak bercerita, ndara bupati tidak akan pernah tahu. Yakinlah saya tidak akan pernah ngomong mengenai masalah seperti ini.''
Pesuruh menatap Adjeng, seraya mengikuti perempuan tersebut berjalan ke arah gerobak berada. Ekspresinya menunjukkan antara kecemasan dan kegembiraan. Sehingga Adjeng masih perlu meyakinkan.